TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA, 23 Februari 2023. Berdasarkan penilaian pada tahun 2020, seluruh spesies ikan hiu berjalan di dunia telah masuk dalam daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) sehubungan dengan kelangkaan dan kerentanannya dalam menghadapi kepunahan. Untuk merespons hal tersebut, pada tanggal 30 Januari 2023 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan Keputusan Menteri Nomor 30 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Penuh Ikan Hiu Berjalan (Hemiscyllium spp.). Status perlindungan penuh ini berlaku untuk seluruh tahapan siklus hidup termasuk bagian tubuhnya dan produk turunannya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Victor Gustaaf Manoppo dalam siaran pers yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tanggal 22 Februari 2023 menjelaskan hiu berjalan merupakan salah satu dari 20 jenis ikan prioritas Konservasi KKP untuk periode 2020-2024.
“Penurunan Populasi serta ancaman kerentanan dan kelangkaan jenis ikan hiu berjalan ini, menjadi pertimbangan perlunya membuat kebijakan pengelolaan sumber daya ikan tersebut,” Jelas Victor.
Saat ini, terdapat enam dari sembilan genus hiu berjalan, yang ada di dunia, tersebar di Indonesia, tepatnya di Halmahera, Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, Fakfak, Kaimana, Jayapura dan Aru. Dari 6 spesies tersebut, 2 spesies masuk ke dalam kategori hampir terancam (Near Threatened); 3 spesies dikategorikan rentan (Vulnerable), serta 1 spesies memiliki kategori sedikit perhatian (Least Concern).
Dr. Mark Erdmann, Vice President dari Conservation International Asia-Pasific, yang juga sebagai salah satu penilai dalam IUCN assessment pada hiu berjalan pada tahun 2020, menyampaikan bahwa hiu berjalan punya potensi sebaran (dispersal) yang sangat terbatas dan mereka tidak berenang melintasi air yang dalam. Sehingga hal ini yang menyebabkan hiu berjalan memiliki range size penyebaran yang tidak luas.
“Hiu berjalan mengalami situasi yang cukup berbeda dibanding jenis hiu pada umumnya. Meski hiu berjalan memiliki ukuran tubuh relatif kecil yaitu kurang lebih 1 meter, laju reproduksi dan pertumbuhan populasi cepat, serta tekanan exploitasi perikanan relatif rendah, namun justru range size dari habitat dan distribusi mereka terbatas. Dampaknya, ukuran populasi mereka kecil dan rentan terhadap kepunahan karena tidak bisa “lari” apabila ada degradasi habitat dan perubahan iklim,” jelas Mark.
Sementara itu menurut Dr. Fahmi, Peneliti Madya Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang juga menjadi Regional Vice-Chair Asia dari IUCN Shark Specialist Group, menerangkan bahwa meski sudah mendapat status perlindungan penuh, masih ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan untuk menjamin upaya perlidungan hiu berjalan ini. Diantaranya adalah harus ada kajian lanjutan terkait dengan peta sebarannya.
“Kajian peta sebaran ini penting untuk mengetahui batas-batas sebaran jelas dari setiap jenis hiu berjalan agar dapat dipetakan wilayah-wilayah yang perlu diawasi untuk perlindungan hiu berjalan dan habitatnya. BRIN pasti akan mendukung jika dibutuhkan keterlibatan untuk proses kajian ini,” tandas Fahmi.
Konservasi Indonesia (KI) sebagai mitra pemerintah, ikut terlibat bersama pengelola kawasan konservasi di Bentang Laut Kepala Burung terutama dalam upaya pelestarian satwa ini. Dengan pendekatan sains, KI mendukung dari sisi monitoring populasi dan pemetaan habitatnya. Bersama mitra, KI melakukan upaya edukasi bagi masyarakat. KI juga turut aktif dalam proses perumusan naskah akademik terkait pelestarian satwa terancam punah termasuk salah satunya adalah hiu berjalan ini.
“KI akan mendukung penerapan aturan ini hingga di tingkat tapak. Kami akan terus berkolaborasi bersama KKP dan mitra lainnya dalam meneruskan pekerjaan sains serta penguatan masyarakat seperti yang ada di Raja Ampat, Kaimana dan Fakfak. Salah satunya dengan pengembangan ekowisata untuk biota laut yang dilindungi, termasuk hiu berjalan ini, demi mendukung ekonomi masyarakat,” tegas Meizani Irmadhiany, Ketua Dewan Pengurus, Konservasi Indonesia.