Scroll untuk baca artikel
Example 525x600
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita

Wanita Bercadar Menerobos Istana, Pakar: Kalangan Islam Moderat Rumuskan Strategi!

×

Wanita Bercadar Menerobos Istana, Pakar: Kalangan Islam Moderat Rumuskan Strategi!

Sebarkan artikel ini
Pakar Sosiologi Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar.
Example 468x60

TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Kalangan atau kelompok Islam moderat dinilai harus segera merumuskan strategi. Hal itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi gerakan-gerakan intoleran dan faham radikal, terutama di jagat dunia maya.

Hal itu disampaikan Pakar Sosiologi Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar. Dirinya mengungkapkan, aksi seorang wanita bercadar membawa senjata api dan mencoba menerobos Istana Negara adalah salah satu contoh kesalahpahaman tentang ajaran agama.

Example 300x600

“Kasus wanita bercadar yang mencoba merobos ke Istana Negara sambil membawa senjata api dengan misi sebagai jihad adalah suatu fenomena pemahaman keagamaan yang persoalannya tidak sederhana. Ini semacam gunung es persoalan eksistensi otoritas agama di ruang publik yang patut dicermati kembali,” kata Asep dalam keterangan tertulis, yang diterima TeropongNews, Kamis (27/10/2022).

Asep menilai, bahwa wanita tersebut pasti salah mengambil jalan atau ajaran mengenai agama, terutama dari media sosial.

“Ruang publik media digital mengubah gaya hidup masyarakat dalam banyak aspek, termasuk bidang agama. Meski memiliki nilai positif, penggunaan media sosial untuk menyampaikan apa saja, cenderung kurang disadari bahayanya baik bagi individu maupun masyarakat luas,” ujarnya.

Dalam konteks keberagamaan, Asep mengatakan, kehadiran dan penggunaan teknologi informasi yang masif ini mendorong terjadinya kontestasi terbuka berbagai faham dan ajaran.

“Sekitar tahun 1980-an, untuk mendapatkan pengetahuan agama dan mengkonfirmasi interpretasi ajaran, masyarakat merujuk kepada ulama dan ormas tertentu yang teruji kompetensinya,” tuturnya.

“Otoritas agama yang disematkan pada ulama sebagai rujukan ini teruji bukan oleh hal-hal di luar kapasitas dirinya. Tapi belakangan, rujukan itu bergeser. Media, khususnya media sosial, menjadi tempat efektif untuk belajar agama,” lanjut dia.

Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyampaikan, media sosial saat ini sudah menjadi pasar bagi kelompok eksklusif dan intoleran untuk berjualan gagasan maupun figur seseorang.

“Sejauh logika pasar, kontestasi gagasan pun berjalan terbuka, fair, bebas dan sepenuhnya ditentukan oleh dominasi pendukung dan pengikut. Muncul figur publik, khususnya di media, yang dinilai memiliki daya tarik tersendiri dan mendapatkan tempat di kalangan masyarakat. Tokoh-tokoh populer inilah yang oleh Muhammad Qosim Zaman disebut sebagai ‘cendekiawan agama baru’. Mereka lahir secara instan melalui ruang publik digital,” ungkap Asep.

Asep menilai, bagi mereka yang baru belajar agama, kehadiran tokoh-tokoh populer tersebut cenderung sangat memikat, setidaknya karena dua hal. Pertama, faham yang diajarkan dinilai atau dianggap baru dan seolah memenuhi dahaga spiritual di tengah kompleksitas masalah hidup yang memang cenderung mencerabut manusia dari jati diri.

“Kedua, penggunaan media sosial yang efektif membuat tokoh-tokoh atau ‘cendekiawan agama baru’ ini mudah diakses publik. Hubungan tokoh dan audiens menjadi terasa intens. Jarak dipangkas habis. Biaya pun dianggap murah,” ujarnya

Asep mengatakan, otoritas agama yang lahir dari riuhnya media sosial itu mungkin tampak tidak secara vulgar melakukan perlawanan terhadap faham keagamaan yang ramah sebagaimana menjadi karakter utama kalangan atau kelompok Islam moderat.

“Namun seringkali juga tampak jelas basis ideologi dan pemikirannya mengandung spirit salafi. Ekspresi anti tradisi dari para tokoh agama populer ini berkali-kali menyeruak dan menjadi kontroversi,” ucap dia.

Example 300250
Example 120x600