Sudah Tersangka, Pemilik TV Kabel Putri Masih Bersiaran Gunakan Barang Sitaan Polisi

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Maluku, Mutiara D Utama. Foto-Ist/TN

TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Maluku kembali mendatangi Polda Maluku untuk mengetahui perkembangan laporan pengaduan atas dua masalah, yakni pertama ancaman pembunuhan saat melakukan tugas negara, dan kedua Temuan KPID Maluku atas barang sitaan polisi, yang digunakan oleh tersangka pemilik TV Kabel Putri untuk menyiarkan dan memungut biaya dari pelanggan.

“Perlu diketahui, bahwa berdasarkan temuan polisi, maka pada berdasarkan surat nomor B/762/VIII/2021 tanggal 2 Agustus 2021 Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku telah menetapkan pemilik TV Kabel Putri Philipus Chandra Hadhi sebagai tersangka, karena tidak memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dan tanggal 3 Agustus 2021 Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku telah menyita studio TV kabel dan alat-alat penyiaran,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Maluku, Mutiara D Utama dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Teropongnews.com, di Ambon, Rabu (12/1/2022).

Namun sayangnya, kata dia, berdasarkan laporan masyarakat dan hasil pemantauan KPID Maluku didapati fakta, jika barang sitaan yang telah disita polisi masih digunakan oleh TV Kabel Putri, untuk menyiarkan siaran konten dan juga memungut iuran kepada pelanggan sejak bulan Agustus 2021 hingga saat ini.

“Untuk memastikan laporan dan aduan masyarakat, maka KPID Maluku melakukan Monitoring evaluasi isi siaran di TV Kabel Putri, dan didapati fakta bahwa TV Kabel Putri masih bersiaran dan menagih iuran sampai dengan hari ini pada pelanggan,” beber dia.

Hasil monev isi siaran ini, lanjut Mutiara, kemudian dikoordinasikan dengan Ditreskrimsus Polda Maluku, dalam koordinasi itu pihak Ditreskrimsus menjelaskan, bahwa barang sitaan polisi di “titip rawat” oleh tersangka.

Barang Bukti dalam Kepentingan Penyidikan pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku sebagai akibat dari ditetapkannya Philipus Chandra Hadhi sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana di bidang penyiaran dan hak cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 juncto 33 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

“Bahwa terhadap proses penyitaan Barang Bukti oleh Penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku, kemudian penyidik mengembalikan barang bukti/barang sitaan tersebut kepada tersangka Philipus Chandra Hadhi dengan status “titip rawat”,” ujar Mutiara.

Menurutnya, barang bukti/barang sitaan yang dikembalikan kepada Tersangka Philipus Chandra Hadhi dengan status “titip rawat” tersebut kemudian masih tetap digunakan oleh Tersangka Philipus Chandra Hadhi, untuk melakukan aktifitas usaha di bidang Penyiaran dalam hal ini barang-barang tersebut masih digunakan.

Bahwa Kemudian Barang bukti yang disita dalam perkara pidana, hanya digunakan dalam rangka pembuktian di depan sidang pengadilan. Secara umum, tanggung jawab terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto. Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP telah menyebutkan Tanggung jawab yuridis terhadap barang bukti dipegang oleh pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara.

Terhadap hal tersebut dalam kaitan dengan Pasal 44 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut di larang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

“Pasal tersebut merupakan alasan yang mendasar di setiap tingkatan pemeriksaan mulai dari penyidikan sampai pengadilan hal ini diatur dalam KUHAP, agar pinjam pakai terhadap barang bukti dapat terjaga keutuhan dan keberadaan benda sitaan (barang bukti), agar tetap tersedia sebagaimana mestinya, sampai tiba saat eksekusi.

Oleh karena itu, tegas Mutiara, seharusnya setiap penggunaan atau pemakaian benda sitaan (barang bukti) dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan bertentangan dengan hukum.

Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP yang mana aturan tersebut tidak menjelaskan dasar hukum yang sah pinjam pakai barang bukti, tetapi hanya menjelaskan tentang pengembalian barang bukti atau benda yang disita, karena kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi, sedangkan apabila dikaitkan dengan pasal 45 KUHAP memberikan pengertian bahwa hal benda sitaan terdiri atas benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan untuk dijual lelang.

Bahwa Dalam kaitan dengan Larangan pinjam pakai barang bukti perkara pidana, bukan tanpa alasan yang jelas dan sah menurut hukum, larangan pinjam pakai barang bukti perkara pidana ini pada hakekatnya mempunyai fungsi untuk menjaga, agar barang bukti tersebut dapat digunakan untuk menguatkan pembuktian dalam proses persidangan.

“Dilain pihak, larangan ini juga menjaga integritas dari aparat penegak hukum itu sendiri, karena barang bukti yang telah disita secara sah telah menjadi tanggung jawab setiap aparat penegak hukum untuk setiap tingkat pemeriksaan, sehingga pinjam pakai barang bukti itu sangat rentan terhadap resiko-resiko,” pungkas dia.

Mutiara mengaku, koordinasi dengan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku khususnya Bidang 1 telah dilakukan sebanyak 4 kali, dan pihak Ditreskrimsus Polda Maluku tetap tidak dapat memberikan jawaban alasan barang sitaan polisi digunakan menyiar dan memungut iuran pelanggan sampai dengan hari ini.

“Pertanyaan KPID Maluku kepada pihak Ditreskrimsus Polda Maluku yang tidak bisa dijawab hingga hari ini adalah, alasan barang sitaan yang dititipkan rawat kemudian digunakan menyiar dan memungut biaya setiap bulan dari pelanggan sebesar Rp 50 ribu, bahkan tindakan pembiaran polisi ini dalam penggunaan barang sitaan ini, telah menghambat KPID tidak dapat menjalankan tugas pengawasan, dan penegakan penyiaran,” tegas Mutiara.

“Karena selama proses pengawasan dan evaluasi pihak TV Kabel Putri mengatakan, bahwa barang sitaan digunakan menyiar, dan memungut iuran kepada pelanggan sejak Agustus 2021 sampai sekarang atas izin polisi,” tambahnya.

Terkait dengan laporan pengaduan KPID Maluku kepada Kapolda Maluku dan fakta yang didapati oleh KPID Maluku hingga hari ini adalah, tidak ada Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang merupakan hak pelapor.

Maka KPID Maluku, menurut Mutiara, melakukan penelusuran laporan tersebut dengan tanda terima 21 Desember 2021 sudah didisposisi untuk ditindaklanjuti Direktorat Kriminal Khusus Pada tanggal 22 Desember 2021.

Dan surat dari direktur juga sudah didisposisi pada Kasubid bidang I perindustrian dan perdagangan. KPID Maluku kemudian pada hari Rabu, 5 Januari 2022 menemui Bidang Kasubid I Perindustrian dan Perdagangan Ditreskrimsus Polda Maluku untuk menanyakan perkembangan laporan, dan juga kembali menanyakan alasan barang sitaan polisi tetap digunakan. Namun sampai hari ini tidak ada jawaban alasan digunakannya barang sitaan dimaksud.

“KPID Maluku meminta perhatian serius Bapak Kapolda Maluku, bahwa tindakan pengawasan dan penegakan aturan dalam penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Maluku, agar negara tidak dirugikan, akibat banyaknya usaha penyiaran yang tidak memiliki IPP. Jika aturan dalam penyiaran ini ditegakkan, dan para pelaku usaha penyiaran taat, maka penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan meningkat,” imbuh dia.

Untuk diketahui, bahwa saat ini PNBP dari lembaga penyiaran di Provinsi Maluku tergolong terendah kurang lebih Rp 2 miliar/tahun, dan jika aturan penyiaran ini ditegakkan, maka PNBP akan meningkat menjadi lebih dari Rp 5 miliar/tahun dari lembaga penyiaran.

“Perlu diingat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran pasal 33 ayat 1 berbunyi: “Sebelum menyelenggarakan kegiatan lembaga penyiaran wajib memperoleh Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)”, maka Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Maluku mewajibkan semua usaha televisi kabel yang tidak mengantongi IPP menghentikan siaran sampai dengan mengantongi IPP,” tandas Mutiara.