TEROPONGNEWS.COM, JAYAPURA – Kuasa Hukum Masyarakat Adat Suku Karay Distrik Demta kabupaten Jayapura, Aloysius Renwarin SH, MH, mengaku bahwa perjanjian yang di sampaikan oleh PT Sinarmas Group kepada kliennya sejak tahun 1999 hingga kini belum terealisai sepenuhnya, bahkan perusahaan enggan menyelesaikan hak-hak masyarakat adat Karay meski sudah hampur 24 tahun.
Masyarakat adat Kray juga mengaku diberikan janji palsu alias PHP (pemberi harapan palsu) oleh PT. Sinarmas Group soal hak ulayat tanah adat.
“ Tanah pelabuhan yang mereka gunakan itu, mulanya mereka sudah berniat baik, pertama berjalan baik, kedua ada kendala. Wilayah pelabuhan itu milik mereka secara hukum adat yang ada di masyarakat Demta, hak ulayat itu di lindungi. PT Sinarmas Group tidak pernah menyelesaikan hak ulayat mereka,”ungkap Aloysius Renwarin saat di temui Jumat, 14 Januari 2021.
Namun pengacara pendiri Firma Hukum Aloysius Renwarin and Partners ini mengutarakan masyarakat adat Karay sendiri sejak adanya pemakaian Lokasi mereka atau tanah adat sebagai pelabuhan pemuatan hasil Kelapa Sawit tersebut tidak pernah melakukan transaksi dalam bentuk apapun, termasuk pembuatan akta atau surat-surat tanah dan perjanjian dengan masyarakat adat sebagai pemilik Hak ulayat yang saah dari leluhur mereka.
Masyarakat Adat Karay melakukan somasi pertama terhitung selama 14 hari, jika tidak diindahkan maka akan di layangkan somasi kedua
“Somasi kita pertama sudah melakukan negosiasi berjalan baik dengan perusahaan Sinarmas Group , pertama keluaga Karay mau duduk bersama perusahaan, “ujar Mantan Direktur Elsham Papua tersebut.
Secara hukum adat, tegas Renwarin wilayah pelabuhan Demta itu adalah milik mereka secara turun temurun, yang dibuktikan dengan beberapa saksi yang tahu persis negosiasi perusahaan saat itu, sehingga perlu adanya pertemuan khusus antara masyarakat adat Karay dan manajemen PT Sinarmas Group.
Sebelumnya di kutip dari www.odiyaiwuu.com bahwa Yustus Karay, putra sulung Nakur Karay, Ondoafi atau kepala suku pemilik hak ulayat suku Karay di Papua melalui kuasa hukumnya, Aloysius Renwarin SH, MH, melayangkan somasi atau peringatan pertama kepada PT Sinar Mas Grup.
Somasi itu dilakukan karena sejak tahun 1999 hingga saat ini atau selama 23 tahun tanah milik Karay seluas 10 hektar yang digunakan Sinar Mas Grup sebagai pelabuhan khusus tempat bongkar muat logistik dan bahan baku minyak kelapa sawit, tidak pernah dibayar atau ganti rugi kepada pemilik ulayat.
“Sudah selama 23 tahun. Terhitung sejak 1999-2021, tak ada status yang jelas dari segi kontrak maupun pembayaran serta sertifikat tentang tanah itu. Makanya kami ingin mediasi dan meminta Sinar Mas Grup sebagai pihak kedua, menunjukkan bukti hukum atas lokasi tanah itu. Kalau dari klien kami, bukti-bukti sudah jelas,” ujar Aloysius Renwarin dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (12/1).
Menurut Rewarin, sejak menerima kuasa dari kliennya, ondoafi Yustus Karay pada 24 November 2021, pihaknya telah melakukan mediasi bersama perwakilan PT Agropanca Modern, anak usaha Sinar Mas Grup di Jayapura. Mediasi pertama berlangsung pada 27 November 2021 dan mediasi kedua terjadi pada 4 Desember 2021.
Saat mediasi ketiga, pihak Sinar Mas Grup tidak menghadiri undangan yang dilayangkan pada 11 Desember 2021. Padahal, sesuai rencana saat mediasi ketiga kedua belah pihak saling menunjukkan bukti hukum atas tanah itu dan hak suku Karay yang harus diberikan oleh Sinar Mas Grup.
“Dengan tidak hadirnya mereka di mediasi ketiga, ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya itikad baik. Kami sudah menunggu kurang lebih tiga minggu namun sampai saat ini pihak Sinar Mas Grup belum juga hadir. Karena itu kami mengirim somasi ke kantor pusat Sinar Mas Grup di Jakarta dengan tembusan kantor perwakilan Sinar Mas Grup di Jayapura. Masyarakat suku Karay merasa dirugikan,” tegas Aloysius.
I
Menurut Aloysius selaku kuasa hukum, ada lima poin dalam somasi yang dilayangkan keluarga suku Karay kepada Sinar Mas Grup. Pertama, pihak Direktur Sinar Mas Grup telah mendirikan sebuah perusahaan olahan minyak kelapa sawit pada tahun 1999 yang sedang beroperasi sampai sekarang di tanah milik kliennya dengan luas 100.000 M2 (sepuluh hektar). Karena itu, selaku kuasa hukum ia menegaskan bahwa pemenuhan tanggung jawab dalam pembayaran atas pemakaian tanah adat suku Karay sampai saat ini belum terpenuhi.
Kedua, Sinar Mas Grup tidak pernah memberi uang sebanyak Rp. 25.000.000.00 kepada kliennya namun kliennya merasa bahwa harga tanah adat dan pemakaian yang bertahun-tahun itu, tidak layak dihargai hanya sebesar itu.
Ketiga, kliennya Yustus Karay sebagai anak adat yang bertanggung jawab menjaga daerah teritorial dan/atau daerah kekuasaan adat meminta pertanggungjawaban Direktur PT Sinar Mas Grup karena telah bertahun-tahun mengambil keuntungan besar dari tanah adat Distrik Demta, Desa Muris Kecil.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 64 ayat 1 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak ulayat milik masyarakat adat Papua.
Keempat, Sinar Mas Grup harus memberikan bukti atas hak kepemilikan, baik itu pelepasan secara adat dan/atau sertifikat, maupun surat kontrak, atau bukti-bukti bahwa pernah telah melakukan transaksi pembayaran apa saja dan dengan siapa. Sebab berdasarkan bukti-bukti kliennya, perusahaan tidak menjalankan pemenuhan kewajiban yang berbuntut somasi ini.
Kelima, kliennya masih berkeyakinan kepada Direktur PT Sinar Mas Grup akan melaksanakan kewajiban tersebut. Karena itu, selaku kuasa hukum ia mengundang Direktur PT Sinar Mas Grup untuk bertemu membicarakan dan menyelesaikan kewajiban dan/atau persoalan tersebut.
“Sejak somasi ini kami layangkan, Direktur PT Sinar Mas Grup tidak bersedia melakukan pembicaraan guna menyelesaikan kewajiban sehingga kami akan menindaklanjuti penyelesaiaan masalah ini secara hukum, baik perdata maupun pidana,” ujar Aloysius, pengacara kelahiran Kokonao, Mimika.
Dalam jumpa pers di kantor Firma Hukum Aloysius Renwarin and Partners di Perumnas II Waena, ondoafi Yustus Karay bersama sejumlah keluarga hadir. Yustus adalah anak sulung dari ondoafi Suku Karay, Nakur Karay.
“Perusahaan Sinar Mas Grup melalui PT Agropanca Modern ini masuk bangun pelabuhan tapi masuknya lewat orang lain yang bukan pemilik hak ulayat yang sah. Kami tahunya dari belakang. Makanya, kami minta data-data akurat ke perusahaan, mana surat pelepasan adat. Tapi sampai hari ini tidak diberikan,” kata Yustus.
Menurut Yustus, wilayah Demta terdapat tujuh suku, salah satunya suku Karay. Terkait status kepemilikan tanah seluas 10 hektar yang dipakai PT Sinar Mas Grup untuk membangun pelabuhan di kampung Muris Kecil di wilayah Pantai Reputa dan Aimsah, sejumlah keluarga yang sebelumnya mengaku sebagai pemilik, sudah menandatangani surat pernyataan tanggal 8 Juli 1999 bahwa pemilik yang sah ialah suku Karay. Bukan mereka.
“Selanjutnya pada 5 September 2011, Dewan Adat Suku dan Kepala Distrik Demta juga menyatakan pengakuan yang dibuat suku-suku Muris bahwa status kepemilikan lokasi tanah darat Pantai Reputa dan Aismah adalah suku Karay,” kata Yustus.
Pada 4 Juni 2012, Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura memfasilitasi pertemuan di kantor Distrik Demta guna membahas tuntutan ganti rugi Suku Karay kepada PT Sinar Mas Grup Ketika itu, kata Yustus, Dewan Adat Suku Jouw-Warry Demta diberi mandat untuk membahas dan memutuskan tuntutan ganti rugi tanah tersebut.
Menurut Yustus, keesokan harinya, tepatnya 5 Juni 2012, pihaknya melakukan pemalangan pada lokasi pelabuhan tersebut. Suku Karay pun saat itu merasa bahwa masih terjadi klaim sepihak dari keluarga tertentu atas kepemilikan lahan itu kepada PT Sinar Mas Grup. Oleh karena itu, pada 6 Juni 2012, digelarlah Musyawarah Para-Para Adat bertempat di rumah ondoafi suku Murunggu, Oktovianus Yokore di kampung Muris Besar mengklirkan kembali kepemilikan lahan itu.
“Pada Dewan Adat Suku sebagai penanggung jawab dari suku-suku yang mendiami kampung Muris saat musyawarah itu membenarkan, memutuskan dan menyatakan bahwa tanah darat dan Pantai Reputa adalah milik suku Karay. Atas dasar inilah, kami palang lokasi dan perjuangkan hak kami. Minta mereka bayar Rp 12 miliar,” urainya.
Masalah ini pun akhirnya dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Pada tanggal 24 November 2012, Yustus mengaku menerima uang sebesar Rp 25 juta dari PT Sinar Mas Grup sebagai uang buka palang lokasi itu. Padahal, mereka meminta ganti rugi sebesar Rp 12 miliar atas lokasi itu. Pemerintah Kabupaten Jayapura waktu itu, melalui Asisten I J Ayamiseba, yang berjanji menfasilitasi suku Karay untuk berjuang mendapatkan haknya juga tak mengambil langkah apapun hingga hari ini.
“Tetapi kami tegaskan sekali lagi bahwa kami suku Karay keturunan Nakur dan Janggai, hingga hari ini tidak pernah berniat menjual lokasi tersebut. Jadilah kami butuh pendampingan hukum. Yang kami tuntut sekarang ialah ganti rugi dan bayar pemakaian lokasi sejak 1999. Setelah itu, barulah kita buat kontrak baru dengan Sinar Mas Grup. Kami tak akan jual tanah ulayat leluhur kami,” tegas Yustus.