Scroll untuk baca artikel
Example 525x600
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita

Cenderawasih Merah Masa Depan Hutan Waigeo Raja Ampat

×

Cenderawasih Merah Masa Depan Hutan Waigeo Raja Ampat

Sebarkan artikel ini
Burung Cenderawasih Merah (Paradisaea rubra) di hutan Warkesi salah satu satwa endemik pulau Waigeo Raja Ampat. Foto Willem Makatita/TN.
Example 468x60

TEROPONGNEWS.COM, RAJA AMPAT- Alvian Sopuyo, 45 tahun, dulunya adalah pemburu Cenderawasih, burung yang menjadi ikon Papua. Pria kelahiran Palu, Sulawesi Tengah ini merantau ke Waisai, Raja Ampat, saat daerah ini baru dimekarkan. Itu bermula dari adanya tawaran menggiurkan pada 2004 silam. “Saat saya tidak ada pekerjaan tetap, tiba-tiba ada yang menawarkan mau membeli burung Cenderawasih dalam keadaan mati dengan harga Rp 700 ribu. Karena belum ada pekerjaan tetap, akhirnya saya pun mengiyakan untuk masuk hutan mencari Cenderawasih,” kata Alvian, Rabu, 20 Oktober 2021 lalu.

Lokasi tempatnya berburu adalah di kawasan Teluk Mayalibit, kampung Warsambin, hingga kawasan hutan Wauyai kabupaten Raja Ampat. Alvian melakukannya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Cenderawasih tangkapannya dijual kepada penadah atau orang yang memesan untuk dijadikan souvenir dan mahkota burung Cenderawasih. Saat berburu, biasanya Alvian berada di hutan sampai seminggu. Hasilnya, dalam satu minggu itu ia bisa mendapatan 10 ekor burung Cenderawasih. “Dalam satu tahun saya bisa mendapatkan 70 sampai 80 burung Cenderawasih untuk dijual,” terang Alvian.

Example 300x600
Para penjaga hutan Warkesi Raja Ampat sekaligus penjaga burung Cenderawasih. Dari kiri ke kanan, Paskal, Alvian Sopuyo dan Morens Dawa. Mereka bertiga dulunya adalah pemburu Cenderawasih dan pembalak hutan secara liar yang kini berbalik arah menjaga hutan dan burung Cenderawasih. Foto Willem Makatita/TN.

Burung Cenderawasih hasil buruannya, kata Alvian, kebanyakan diselundupkan ke luar Papua. Paling banyak ke pulau Jawa untuk dijadikan hiasan, souvenir, atau aksesoris busana. Pengirimannya dilakukan setelah burung diawetkan. Titik balik dalam kehidupannya terjadi tahun 2017. Usai mendapatkan pelatihan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat bersama Flofa Fauna Internasional (FFI), ia meninggalkan pekerjaannya itu dan beralih menjadi penjaga dan pengamat burung Cenderawasih di hutan Warkesi kabupaten Raja Ampat.

Cenderawasih, yang kerap dijuluki sebagai “Burung Surga” karena keindahannya, secara hukum dilindungi oleh Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pelestarian Burung Cendrawasih. Namun, perburuan banyak terjadi untuk menjadikannya sebagai suvenir atau hiasan dan itu bisa membuatnya punah. Selain untuk souvenir, Cenderawasih juga sering dipakai untuk kebutuhan prosesi adat.

Burung Cenderawasih di dunia terdiri dari 14 genus dan 43 spesies. Sebagian besar spesiesnya berada di wilayah Indonesia, yaitu 30 spesies.Sebanyak 28 diantaranya berada di Papua dan Papua Barat. Khusus untuk wilayah kepulauan Raja Ampat ada 8 spesies burung Cenderawasih, 3 spesies diantaranya adalah endemik di pulau Waigeo Raja Ampat.

Burung Cenderawasih Merah, endemik pulau Waigeo Raja Ampat, foto Willem Makatita/TN.

Pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk melindungi Cenderawasih. Antara lain dengan melarang penggunaannya untuk menjadi souvenir. Soal ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Papua Nomor 660.1/6501/SET tanggal 5 Juni 2017 tentang Larangan Penggunaan Burung Cendrawasih Sebagai Aksesories dan Cinderamata. Surat edaran itu masih memperbolehkan penggunaannya dalam setiap proses adat yang bersifat sakral.

“Semua jenis burung Cenderawasih yang ada di Papua dan Papua Barat, termasuk tiga spesies endemic yang ada di pulau Waigeo Raja Ampat, dilindungi oleh undang-undang. Jadi itu yang membatasi peredarannya. Kalau burung Cenderawasih itu statusnya dilindungi, berarittidak boleh diperjualbelikan atau tidak boleh diperdagangkan,” kata Tasliman, Kepala Bidang Teknis BBKSDA Papua Barat, Kamis, 28 Oktober 2021.

Balai Besar KSDA Papua Barat pada akhir Oktober 2020 juga melaksanakan Inventarisasi dan Identifikasi Populasi Cenderawasih di Kawasan Konservasi CA Waigeo Barat untuk mengetahui jenis, lokasi persebaran serta populasinya di alam liar. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cakupan area survei seluas 425 Hektar. Metode yang digunakan adalah Variable Circular Plot (VCP), yaitu metode pengamatan yang dilakukan dengan membuat plot lingkaran dengan radius 50 meter dengan jarak antar plot 300 meter pada jalur pengamatan.

Seekor burung Cenderawasih Merah sedang makan setelah melakukan kontes di atas pohon. Foto Willem Makatita/TN.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, teridentifikasi beberapa jenis Cenderawasih yang ditemukan di lokasi plot pengamatan, diantaranya Cenderawasih Merah (Paradisae rubra), Cenderawasih Botak (Cicinnurus respublica) dan Manukodia Kilap (Manucodia ater). Hasil perhitungan juga didapatkan jumlah populasi rata-rata tiga jenis burung Cenderawasih yang teridentifikasi pada total luasan plot sampling 50,24 hektare sebanyak 57,3 individu. Estimasi kepadatan populasinya 0.9 individu per hektare.

Estimasi Kepadatan Individudan Populasi Cenderawasih

  No.  Nama SpesiesKepadatan Populasi Total Plot PengamatanEstimasi Kepadatan ind/Ha  Estimasi Populasi  Persentase Populasi
1Cenderawasih Merah (Paradisaea rubra)420,6627973.23 %
2Cenderawasih Botak (Cicinnurus respublica)100,166817.85 %
3Manukodia Kilap (Manucodia ater)50,08348.92 %
 Jumlah570,9381100%

Menurut Talisman, Cenderawasih sampai saat ini masih menjadi target perburuan dan perdagangan. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin spesies endemik ini, khususnya di kawasan Cagar Alam Waigeo Barat, akan punah jika rantai perburuan dan perdagangannya tidak dihentikan. “Jumlah populasi ‘Burung Surga’ itu sangat sedikit di alam liar.Perburuan terus-menerus serta lunturnya sakralitas Cenderawasih di kalangan masyarakat adat Papua menjadi bagian dari faktor utama keprihatinan banyak pihak terhadap burung Cenderawasih,” ujarnya.

Lepas liarkan satwa burung endemik Papua di habitatnya oleh BBKSDA Papua Barat bersama mitera kerjanya di Taman Wisata Alam (TWA) Sorong.

Ancaman terhadap populasi Cendrawasih sebagian besar datang dari kegiatan perburuan liar untuk diperdagangkan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah peralihan lahan fungsi lahan hutan untuk pertambangan, perkebunan, pemukiman dan pembangunan infrastruktur. Status Cenderawasih di IUCN (International Union For The Conservation of Nature) adalah LC atau Least Concern dan NT atau Near Threatened. LC adalah status untuk spesies dengan risiko rendah menghadapi kepunahan, sedangkan NT adalah status untuk spesies yang hampir terancam punah.

Talisman menjelaskan, Cenderawasih merupakan jenis burung yang proses perkembangbiakannya terbilang cukup lambat. Betinanya hanya bertelur dua atau tiga butir dalam satu masa kawin, dan kemungkinan hanya terjadi sekali dalam satu tahun. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara jumlah bayi burung cenderawasih yang ditetaskan dan pengambilan secara liar di alam. “Bila perburuan terus dilakukan, maka dapat dipastikan burung ini akan benar-benar punah suatu hari nanti,” kata dia.

Aturan pemanfaatan burung Cenderawasih juga masih berlaku, yaitu hanya terbatas bagi masyarakat lokal untuk hiasan pakaian adat. Ia menambahan, kini sudah ada kesadaran masyarakat untuk mengganti hiasan bulu Cenderawasih dengan bulu-bulu imitasi untuk menjaga kelestariannya.

BKSDA Papua Barat menetapkan site monitoring, selain melakukan sosialiasi pelestarian hutan dan habitat Cenderawasih, smart patrol dan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai bagian dari cara menjaga populasi burung enemik ini. Ada empat kawasan suaka di kabupaten Raja Ampat yang menjadi fokus perhatian BKSDA Papua Barat, yaitu di kampung Sapokren, Warkesi, Waifoi dan Warimak.

Pengawasan dan pemantauan terhadap peredaran satwa liar juga dilakukan. “Misalkan ada informasi kalau peredaran satwa liar yang lolos lewat pelabuhan laut atau pun lewat bandara, maka kami langsung berkordinasi dengan pelaksana unit kerja yang ada di luar Papua atau daerah tujuan untuk melakukan penangkapan dan dikirim kembali ke Papua,” kata Talisman.

Untuk menjaga hutan dan satwa endemic di wilayah hutan Papua Barat, BKSDA menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) Flofa dan Fauna Internasional (FFI) dan Concervation International (CI) Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara lingkungan dan hutan yang berkelanjutan.

Koordinator Raja Ampat program FFI, Maurits Kafiar. Foto Rits.

Koordinator Raja Ampat program FFI, Maurits Kafiar, adalah putra asli Papua. “Jika saya ditanya, apakah setuju dengan penggunaan dan pemanfaatn burung Cenderawasih asli yang diawetkan untuk dijadikan sebagai souvenir, cinderamata, apalagi dijadikan hiasan kepala atau mahkota? Dengan tegas saya katakan “Tidak!. Saya sangat tidak setuju. Kecuali dipergunakan untuk acara adat, itu pun dengan penuh kesadaran akan kelestariannya,” kata Maurits, Jumat 29 Oktober 2021.

FFI, kata Maurits, juga membuat program untuk menghitung jumlah populasi burung Cenderawasih di habitatnya dengan mengunakan sistem perplot (satu pohon bermain) 500 meter persegi dari satu kelompok atau satu komunal. Berdasarkan hasil identifikasi dan monitoring FFI di dalam kawasan hutan Warkesi yang seluas 1.200 hektare itu, ditemukan sebanyak delapan plot burung Cenderawasih Merah. Di masing-masing plot terdapat lima ekor pejantan yang mendominasi satu tempat.

“Setelah kami melakukan identifikasi terhadap delapan plot dari hutan seluas 1.200 hektar di kawasan Warkesi itu, kami hitung-hitung ada sekitar tiga ratusan ekor burung Cenderawasih Merah. Namun secara pasti kami belum bisa membulatkan apakah benar-benar mencapai tiga ratus ekor atau lebih dari tiga ratus ekor,” kata Maurits.

FFI juga melihat ada sejumlah kekhasan dari Cenderawasih Merah. Jenis ini cenderung memanfaatkan punggungan atau atas bukit sebagai tempat untuk bermain. “Kecenderungan burung Cenderawasih merah juga tidak bermain di semua jenis pohon. Ada beberapa jenis pohon tertentu yang dijadikannya sebagai tempat untuk pentas,” kata Maurits.

Maurits menyatakan, pembukaan lahan, penebangan pohon secara liar, baik penebangan pohon untuk pekerjaan pembangunan di sekitar kawasan hutan kota Waisai, menyebabkan degradasi hutan. Praktik itu yang menyebabkan Cenderawasih bergeser jauh dari hutan kawasan kota Waisai.

Salah satu masalah umum lainnya, kata Maurits, adalah jika pohon-pohon tertentu yang dipakai untuk pentas burung Cenderawasih dipotong dan diambil oleh masyarakat. Aktivitas seperti itu menyebabkannya melakukan migrasi mencari tempat bermain yang lebih jauh. Dengan kata lain, pembalakan liar dan penebangan pohon itu secara tidak langsung mengganggu habitatnya.

Salah satu ciri Cenderawasih, kata Maurits, adalah cenderung mendiami satu lokasi. Inilah yang membuatnya rentan. “Burung lain, kalau ada ancaman, bisa terbang ke tempat lain. Kalau burung Cenderawasih tidak bisa. Karena itu paling mudah ditangkap dibanding dengan burung Kakatua atau burung lainnya. Kalau ada orang yang berburu Cenderawasih dan tahu tempat bermainnya, kalau di sana ada 30 ekor, bisa ditangkap semua itu,” ujarnya.

Perburuan Cenderawasih paling banyak terjadi pada 2003 sampai 2017. Harga jual per ekor saat itu berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu per ekor. Oleh karena itu, perburuan itu harus dihentikan agar burung yang dikenal dengan keindahan bulunya ini tidak punah. “Karena burung yang paling gampang ditangkap adalah burung Cenderawasih bila dibandingkan dengan burung lain,” kata Maurits. Dia menambahkan, masyarakat adat Raja Ampat kini tidak lagi menggunakan burung Cenderawasih sebagai mahkota kepala untuk acara-acara adat atau acara poenyambutan pejabat negara.

Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, S.E.

Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, minta penggunaan Cenderawasih, khususnya Cenderawasih Merah dan Cenderawasih Botak sebagai hiasan mahkota, harus dihentikan. Sebab, itu akan membuka ruang bagi masyarakat atau pihak-pihak lain untuk terus melakukan perburuan terhadap burung yang saat ini dalam status terancam punah tersebut. 

Menurut Abdul Faris Umlati, pemerintah masih tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dilindungi. Regulasi itu sudah jelas mengatur tentang perlindungan satwa, salah satunya adalah burung Cenderawasih.

“Tentunya kami juga tidak mau esok lusa, anak cucu kita hanya dengar cerita saja tentang burung Cenderawasih. Artinya sudah saatnya kita bersama jaga Cenderawasih. Bukan saja di Raja Ampat, tapi di seluruh tanah Papua dan Papua Barat, Cenderawasih atau burung surga ini harus dijaga dan dilindungi demi anak cucu kita ke depan,” kata Abdul Faris Umlati,Senin, 25 Oktober 2021.

Abdul Faris Umlati menyerukan kepada masyarakat turut serta menjaga dan melindungi Cenderawasih. Pemerintah Raja Ampat juga akan mengusulkan soal perlindungan terhadap Cenderawasih ini dituangkan dalam peraturan daerah. Harapannya, aturan itu akan menjadi landasan hukum untuk mengatasi perburuan, perdagangan, dan penggunaannya dalam berbagai kegiatan.

Selain ada regulasi, edukasi terhadap masyarakat juga tetap perlu dilakukan. Alvian Sopuyo adalah salah satu contoh keberhasilannya. Ia yang semula pemburu Cenderawasih, kini sudah beralih menjadi pelindungnya. Alvian bersama teman-temannya di Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi kini mengelola ekowisata jelajah hutan dan pengamatan burung dan mendapatkan penghasilan dari aktivitasnya ini.

Selain Alvian, yang juga akhirnya berganti profesi 360 derajat adalah Morens Dawa. Pria 34 tahun kelahiran Kampung Waifoi distrik Tiplol Mayalabit ini dulunya bekerja sebagai pembalak liar di hutan Waigeo. Ia tidak pernah tahu yang namanya Konservasi. Yang ia tahu hanyalah menebang pohon-pohon besar untuk dijadikan papan dan kemudian kayunya dijual ke penadah atau cukong.

Menurut Morens, ia mulai meninggalkan pekerjaan itu sejak tahun 2017. Dan di awal tahun 2019 kebetulan BKSDA mulai membentuk tim Smart Patrol. Ia pun tergerak untuk bergabung dan meninggalkan kebiasan lamanya, yaitu menebang pohon. Ia juga bergabung dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi sebagai penjaga hutan sekaligus pemandu aktivitas pengamatan burung Cenderawasih di hutan Warkesi yang dibentuk BKSDA. “Sampai sekarang saya termasuk yang aktif untuk menjaga hutan dari orang-orang yang sebetulnya belum mengerti tentang pentingnya hutan,” ujar Maurens, Rabu, 20 Oktober 2021.

Morens Dawa (depan) mantan pembalak liar di hutan Waigeo. Bersama di menara pemantauan cenderawasih di hutan Warkesi Raja Ampat. Foto Willem Makatita/TN.

Dulunya, kata Morens, dalam sebulan ia bisa menebang 7 sampai 8 pohon untuk dijual. “Bapak kali sendiri sudah. Kalau dalam satu bulan saja saya dan teman-teman saya tebang 8 pohon, dalam setahun ada 12 bulan, artinya 8 pohon dikali 12 bulan. Maka dalam satu tahun kami bisa menebang 96 pohon. Kalau terus menerus, sudah pasti hutan ini akan gundul,” kata dia. 

Sejak bergabung dengan tim Smart Patrol, Morens berkali-kali menangkap pembalak liar di hutan Waigeo. Ia bersama timnya juga pernah menangkap masyarakat yang berburu Cenderawasih secara diam-diam. “Kalau pelaku pembalakan, setelah kita tangkap, mesin pemotong kayu miliknya kita tahan. Sedangkan untuk pemburu liar, kita juga sita senapan angin miliknya,” ujarnya.

Morens merasakan banyak hal berbeda dari pekerjaan barunya ini, dibandingkan saat menjadi pembalak liar. “Banyak hal positif. Saya bisa kenal dengan orang-orang hebat seperti para pejabat serta wisatawan asing. Kalau dulu masih suka tebang-tebang pohon untuk dijual kayunya, saya merasa tidak nyaman, karena sering dikejar-kejar orang Kehutanan,” kata dia.

Kelompok Tani Hutan Warkesi, kata Morens, saat ini berhasil menemukan 8 titik bermain burung Cenderawasih di hutan Warkesi. “Kalau dulu kita susah sekali lihat Cenderawasih karena dulu orang masih sering berburu Cenderawasih. Tapi kalau sekarang, karena kita sudah jaga habitatnya, justru sekarang kalau mau lihat Cenderawasih, sudah tidak jauh masuk hutan lagi,” ujarnya.

Berdasarkan data FFI, pada Juni 2018 hingga Maret 2019, Warkesi telah menerima kunjungan sebanyak 121 turis. Turis terbanyak dari Eropa, yaitu 38,34 persen. Di urutan selanjutnya adalah turis dari Asia (36,32 persen). Sebanyak 26,23 persen dari dalam negeri. Selebihnya adalah turis dari Australia, Afrika, Amerika, dan Inggris.

Alvian dan kawan-kawannya juga kerap menerima laporan masyarakat soal perburuan liar di sekitar hutan Warkesi. Untuk mempermudah pemantauan, mereka kini membangun menara pemantauan dan beberapa kali melakukan penangkapan orang yang beralasan sedang berburu Babi itu. “Sebetulnya mereka yang kami tangkap itu secara diam-diam berburu Cenderawasih,” kata Alvian, yang menjadi ketua Kelompok Tani Hutan Warkesi ini.

Setelah mulai mengenal hutan dan Cenderawasih, Mourens mengaku baru mengerti kenapa burung Cenderawasih itu dilindungi oleh undang-undang. Kini ia berharap pemerintah daerah menjaga kelestarian burung yang dijuluki sebagai “Burung Surga” karena keindahannya itu melalui peraturan daerah.

INFOGRAFIS

Tiga spesies burung Cenderawasih di Cagar Alam Waigeo Barat, Raja Ampat

a. Cenderawasih Merah (Paradisaea rubra);

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Aves

Ordo : Passerifirmes

Famili : Paradisaeidae

Genus : Paradisaea

Spesies : Paradisaea rubra

b. Cenderawasih Botak (Cicinnurus respublica);

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Aves

Ordo : Passerifirmes

Famili : Paradisaeidae

Genus : Cicinnurus

Spesies : Cicinnurus respublica

c. Manukodia Kilap (Manucodia ater);

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Aves

Ordo : Passerifirmes

Famili : Paradisaeidae

Genus : Manucodia

Spesies : Manucodia ater

Jenis burung Cenderawasih di Pulau Misool-Raja Ampat :

No.FamiliNama IndonesiaNama Ilmiah
1ParadisaeidaeManukodia Lerher-KeritingManucodia Chalybatus
  Cendertawasih Mati-KawatSeleucidis Melanoleucus
  Cenderawasih RajaCicinnurus Rejius
  Cenderawasih KecilParadisaeidae Minor

Jenis Cenderawasih di Pulau Waigeo-Raja Ampat :

No.FamiliNama IndonesiaNama Ilmiah
 ParadisaeidaeCenderawasih BotakCicinnurus Respublica
  Cenderawasih MerahCicinnurus Rubra
  Manokodia KilapManucodia Ater

Status Burung Cenderwasih di IUCN

(International Union For The Conservation of Nature)

Paradisaea apoda (Cendrawasih Kuning Besar)-Least Concern

Paradisaea minor (Cendrawasih Kuning Kecil)-Least Concern

Lycocorax pyrrhopterus (Cendrawasih Gagak)-Least Concern

Semioptera wallacii (Bidadari Halmahera)-Least Concern

Cicinnurus magnificus (Cendrawasih Belah Rotan)-Least Concern

Pteridophora alberti (Cendrawasih Panji)-Least Concern

Astrapia nigra (Cendrawasih Astrapia Arfak)-Least Concern

Lophorina superba (Cendrawasih Kerah)-Least Concern

Epimachus albertisi (Cendrawasih Paruh Sabit Hitam)-Least Concern

Parotia sefilata (Cendrawasih Parotia Arfak)-Least Concern

Manucodia comrii (Cendrawasih Manukod Jambul Bergulung)-Least Concern

Paradisaea rubra (Cendrawasih Merah)-Near Threatened

Paradigalla carunculata (Cendrawasih Paradigala Ekor Panjang)-Near Threatened

Cicinnurus respublica (Cendrawasih Botak)-Near Threatened.

Penulis : Willem O Makatita

Example 300250
Example 120x600