TEROPONGNEWS.COM, JAKARTA – Webinar Nasional “KH Abdul Wahab Chasbullah; Peran dan Pemikiran dalam Konteks Kekinian” dan Peluncuran Buku “Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme; Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Chasbullah” diselenggarakan oleh Kyai Wahab Foundation (KWF), PCNU Jakarta Pusat, IKABU Jabodetabek, Himabi Jakarta dan Penerbit Jejak pada Jumat, 05 Februari 2021.
Kegiatan yang berlangsung secara virtual dalam rangka memperingati harlah NU ke-98 hijriyah ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain; KH Agus Sunyoto, Sejarawan Islam; Prof. Ali Munhanif, Ph.D, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; dan Suwadi D Pranoto, Wakil Sekretaris Jenderal
PBNU.
Acara dimulai dengan sambutan yang disampaikan oleh KH. M Hasib Wahab, selaku Ketua
PBNU dan Pembina Kyai Wahab Foundation, dilanjutkan dengan sambutan Gus Syaifuddin,
selaku Ketua PCNU Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa tujuan kegiatan ini adalah
menggali kembali teladan Kiai Wahab dalam menyambut satu abad kiprah Nahdlatul
Ulama. Kemudian acara dilanjutkan dengan diskusi yang dimoderatori oleh A. Irfan Mufid,
dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Diskusi diawali dengan mengulik sejarah ketokohan KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai seorang ulama inisiator dan pendiri organisasi islam terbesar di Indonesia yakni, Nahdlatul
Ulama (NU). Kiai Wahab lahir di Jombang pada tanggal 31 Maret 1888 dan wafat pada
tanggal 29 Desember 1971. Kiai Wahab merupakan seorang ulama yang bisa disebut
komplit karena selain ahli di bidang ilmu agama, beliau juga memiliki ilmu kanuragan,
seorang pedagang, dan juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Pemikiran dan perjuangan Kiai
yang melintasi ruang dan waktu yang hingga saat ini masih relevan dan urgen untuk tetap
dilestarikan.
Agus Sunyoto menjelaskan bahwa Kiai Wahab adalah tokoh yang memimpin rombongan
Komite Hijaz dengan membawa pesan dari kalangan ulama tradisional untuk melobi Raja
Saudi penguasa baru di Tanah Arab agar memelihara warisan-warisan Islam zaman
Rasulullah dan Sahabat dan untuk kehidupan bermadzhab diperbolehkan. Sehingga
penggusuran makam Rasulullah dan yang lainnya bisa digagalkan.
Dalam konteks nasional, Agus Sunyoto pernah mendapat penjelasan dari Gus Dur, bahwa
Kiai Wahab pengetahuannya dan pemahamannya luar biasa tentang eksistensi golongan,
partai politik dan ideologi. Dengan latar belakang dari pesantren tidak bisa dianggap
remeh. Justru dengan penguasaan geopolitik itulah Kiai Wahab membawa NU keluar dari
Masyumi. Karena posisi NU didalam Masyumi tidak menguntungkan secara sosial politik.
Kiai Wahab adalah ulama yang ahli ushul fikih, yang selalu beliau gunakan sebagai pisau
analisis dalam mengambil keputusan politik maupun dalam menerima pemikiran-
pemikiran dari luar meskipun berbeda yang ujungnya dijadikan partner dalam berjuang.
Sedangkan, Ali Munhanif menyampaikan Kiai Wahab merupakan pelopor, arsitek, desainer,
bahkan engine gerakan NU.
Ia melihat Fiqh Wathoniyah (Fikih Kebangsaan) yang dikembangkan Kiai Wahab menjadi
landasan penting dalam menangkap pluralisme atau semangat kemajemukan yang dimiliki
umat Islam di Indonesia.
Semangat kemajemukan negeri ini sudah lahir sejak awal kemerdekaan ketika ulama NU
membayangkan tentang kecintaan kepada tanah air sebagai landasan untuk munculnya
sebuah negara merdeka yang dihuni warga negara yang bermacam-macam terlepas dari
identitas keagamaan maupun ideologi politik yang dimiliki.
Kiai Wahab telah mengantarkan landasan berfikir tentang nasionalisme Indonesia
melampaui zamannya. Lagu Ya lal Wathon yang diciptakan sebelum kemerdekaan, hari ini
bisa dinyanyikan oleh siswa BPK Penabur dengan fasih dan tanpa beban. Semangat
kemajemukan dalam bingkai nasionalisme sedang menemukan momentumnya saat ini.
Pembentukan Nahdlatut Tujjar sendiri merupakan semacam asosiasi perdagangan muslim
pribumi yang merespon dominasi kelompok kolonial di kota-kota besar. Kiai Wahab
menginginkan kalangan pesantren berdaya secara ekonomi, sehingga leluasa dalam
berdakwah.
Sebagai narasumber terakhir, Suwadi D Pranoto, menjelaskan posisi Kiai Wahab sebagai
“Muharrik” di NU, Muharrik yang bermakna penggerak benar-benar diejawantahkan oleh
Kiai Wahab dalam melakukan konsolidasi dengan kiai-kiai di nusantara, maupun saat
masih belajar di Mekkah. Untuk menjelaskan sebuah keputusan baik di NU maupun negara
Kiai Wahab tidak hanya melalu mimbar-mimbar resmi, tapi “blusukan” silaturahim ke
pelosok-pelosok Jawa dan luar Jawa untuk menjelaskan maksud dan tujuan keputusan itu
diambil kepada para kiai dan para tokoh.
Dalam diskusi ini juga dilakukan peluncuran buku berjudul ‘Pluralitas dalam Bingkai
Nasionalisme’ (Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah) karya
Muhammad Izzul Islam An-Najmi ( Gus Amik ), cucu KH Abdul Wahab Chasbullah.
Buku ini, mengupas tuntas mengenai pemikiran Kiai Wahab mulai dari sudut pandang Kiai
Wahab sebagai seorang pengasuh pesantren, pemikir, tokoh bangsa, guru dan sosok ayah.
Buku ini ditulis untuk memberikan alternatif baru tentang pemikiran dan perjuangan Kiai
Wahab. Terutama berkaitan dengan nilai-nilai pluralitas yang dibingkai semangat
nasionalisme dan konsep Islam berbasis kontruksi pluralitas keberagamaan.
Acara diakhiri dengan tanya jawab dan pembagian doorprize Buku KH Abdul Wahab
Chasbullah, Peci NU, Helm NU, Kaos Mbah Wahab dan Smartphone kepada beberapa
peserta yang hadir secara virtual.