TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Sengketa tanah hak pakai denggan SK 60/1967 atas nama Hendra Tan Palar, yang terletak di Jalan Sam Ratulangi Ambon kini masuki babak baru, setelah disengketakan selama lebih 20 tahun.
Sebagai pemegang Hak Pakai tanah objek sengketa, keluarga Palar berhak menguasai dan menghak miliki objek sengketa menurut hukum, setelah keluarga Palar berhasil menang di peradilan TUN dengan putusan Nomor 01/G.TUN/1999/PTUN.ABN, putusan Nomor 01/BDG.TUN/2004/PT.TUN.MKS, dan putusan Mahkamah Agung No.312 K/TUN/2004, tanggal 18 Januari 2008, yang selanjutnya dieksekusi dengan Surat Keputusan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Maluku Nomor: SK.03/Pbt/BPN.81/2012, tentang Pencabutan Dan Pembatalan Sertifikat Hak Milik Nomor 1020 tanggal 24 Nopember 1998 Seluas 85 M² atas Leni Chistanto, yang terletak di Kelurahan Honipopu, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Pencabutan dan pembatalan Sertifikat Hak Milik Nomor 1020 diumumkan di salah satu media cetak hari di Kota Ambon, edisi 19 Desember 2013.
Terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah inkracht, pasal 115 Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU 9 Tahun 2004 jo. UU 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan, “hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.
Selanjutnya pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut menegaskan pula bahwa : “Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi”.
Dengan demikian, menurut Kuasa Hukum keluarga Palar, Johanis L.Hahury,S.H,M.H., yang biasa dipanggil Butje, pasal 115 dan pasal 116 UU 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU 9 Tahun 2004 jo.UU 51 Tahun 2009 tersebut telah menjamin dan memposisikan putusan peradilan TUN mutlak, untuk dijadikan patokan fundamental bagi semua orang dan instansi termasuk peradilan perdata dan/atau pidana, terkait dengan objek sengketa dalam putusan peradilan TUN tersebut, karena adanya asas hukum erga omnes, sebagai sumber norma hukum dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dibenarkan para ahli hukum administrasi Negara terkemuka seperti Prof. Philipus M. Hadjon, dan Prof.Efendi Lotulung.
Menurut ahli Hukum Administrasi Negara terkemuka Prof. Philipus M.Hadjon, dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction The Indonesian Administration Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993. hlm. 332, menulis, bahwa formulasi pasal ini menunjukkan secara jelas bahwa putusan yang dijalankan adalah putusan yang sifatnya sudah tetap.
Hal itu berarti bahwa putusan tersebut tidak dapat ditinjau atau dibatalkan. Dengan demikian, sifat putusan ini memiliki kekuatan mengikat yang sesuai dengan salah satu asas putusan dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, yakni erga omnes yang artinya putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat umum, atau berlaku sebagai peraturan.
Selanjutnya, Prof.Dr. Paulus Efendi Lotulung mantan hakim Mahkamah Agung kamar TUN dengan lebih lengkap menyatakan, bahwa suatu putusan pengadilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mempunyai konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut; Dengan adanya putusan yang bersangkutan berarti, bahwa sengketa tersebut telah berakhir dan tidak ada lagi upaya-upaya hukum biasa yang lain yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berperkara; Putusan tersebut mempunyai daya mengikat bagi setiap orang (erga omnes), tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berperkara (inter partes) seperti halnya dalam perkara perdata.
Putusan tersebut merupakan suatu akta autentik yang mempunyai daya kekuatan pembuktian sempurna; Dan putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang berarti bahwa isi putusan tersebut dapat dilaksanakan. Bahkan, jika perlu dengan upaya paksa jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan dengan sukarela isi putusan yang bersangkutan. (Paulus Efendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika, Jakarta, 2013. halaman 137).
“Dalam kedudukan putusan peradilan TUN yang begitu kuat menurut hukum, keluarga Palar menduga ada oknum polisi, Sih Harno Kombes Ditreskrimum Polda Maluku berusaha mengkriminalisasi orang tua mereka janda Ny. Etty Palar (71), sebagai tersangka berdasar Surat Panggilan No: SP.Pgl/282/VIII/2020/Ditreskrimum, tanggal 24 Agustus 2020,” kata Hahury kepada wartawan, di Ambon, Jumat (30/10/2020).
Menurut Hahury, sangat disayangkan, lantaran dalam perkara ini, secara sengaja dan melawan hukum Lenny Christanto menggunakan SHM 1020/Honipopu yang sudah dinyatakan batal demi hukum tersebut sebagai bukti/dasar gugatan dalam perkara perdata di peradilan umum dalam putusan perkara:
a) Nomor 65/Pdt.G/2009/PN.AB,tanggal 2 Desember 2009
b) Nomor 13/PDT/2010/PT.MAL, tanggal 24 Mei 2010
c) Nomor: 174 K/Pdt/2011
d) Nomor: 339 K/PDT2013
e) Nomor: 08/Pdt.G/2014/PN.AB
f) Nomor: 04/PDT/2015/PT.AMB
g) Nomor: 1543 K/PDT/2015
h) Nomor: 575 PK/PDT/2017; dan
i) Penetapan Eksekusi Riil No.08/Pdt.G/2014/PN.Amb.
Karena itu, Julian Palar sebagai salah satu ahli waris dan pihak dalam sengketa perdata, telah melapor pidana Lenny Christanto pada tanggal 29 Mei 2019 di Ditreskrimum Polda Maluku, karena adanya dugaan penggunaan akte autentik palsu.
Tanggal 21 Mei 2019, Ditreskrimum menerbitkan surat perintah penyelidikan Nomor: Sp.Lidik/141/V/2019 Ditreskrimum, dan Ronny Palar melaporkan Lenny Christanto dengan dugaan pidana memalsu keterangan terkait dengan:
a) Berita acara eksekusi riil nomor: 08/B.A,Pdt.G/2014/PN.Amb.
a) Berita acara penyerahan obyek eksekusi nomor: 08/B.A.Pdt.G/2014/PN.Amb; dan
b) Surat pernyataan Herman B.Tasidjawa,SH dan Lenny Christanto nomor: 08/B.A.Pdt.G/2014/PN.Amb, tanggal 17 Januari 2019.
Karena ketiga surat/akte tersebut diduga memuat sejumlah keterangan palsu, maka pada tanggal 24 Januari 2020, Victor Ronny Palar bersama Pengacaranya Johanis L.Hahury,S.H.,M.H., melaporkan Notje Leasa, Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Ambon, Lenny Christanto dan kuasa hukumnya Herman B.Tasidjawa,SH, ke Ditreskrimum Polda Maluku.
Namun kinerja Kombes Polisi Sih Harno, selaku Ditreskrimum Polda Maluku, diduga sangat kuat melakukan kriminalisasi terhadap Ny.Etty Rasyid Palar dan menetapkan orang tua renta ini, sebagai tersangka dengan Surat Panggilan No: S.Pgl/282/VIII/2020/Ditreskrimum, tanggal 24 Agustus 2020.
“Kriminalisasi Ny.Etty Rasyid Palar sangat disesali. Dan untuk membuktikannya, maka keluarga besar Palar siap mati untuk membela ibu mereka. Oleh sebab itu, mereka telah menyiapkan beberapa langkah dan upaya hukum untuk memperjuangkan hak-hak asasi dan hak hukumnya, yang mana seharusnya pihak kepolisian menelusuri dengan serius dasar–dasar kepemilikan dan penguasaan suatu objek tanah. Bagaimana mungkin pihak yang memiliki dasar kepemilikan dan penguasaan sesuai UU dijadikan tersangka, sedangkan pelapor jika dilihat dengan benar tidak memiliki dasar kepemilikan, masa iya pihak kepolisian tidak bisa melihat ini? Hal ini menjadi tanda tanya besar, kok bisa seseorang dijadikan tersangka dulu baru kemudian diminta menunjukan bukti-bukti kepemilikannya atas tanah,” tegas Hahury.
Dengan hak pakai yang diberikan negara kepada Hendra Satya Tan Palar, maka tidak ada unsur melawan hukum sebagai salah satu unsur dalam pasal 385 KUHPid. Putusan 174K/pdt/2011 tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah. Karena peraturan perundang-undangan mengisyaratkan bukti hak milik atas tanah adalah Sertifikat Hak Milik, Bukan putusan pengadilan.
Apalagi, jika ditinjau dari prosedur hukum acara kasasi, maka ada pelanggaran prosedur kasasi dlm putusan 174 K/pdt/2011 yang digunakan Lenny Christanto sebagai bukti dalam semua putusan peradilan perdata berikutnya.
Karena tidak ada hukum yang berasal dari perbuatan melanggar hukum sebagai salah satu asas hukum, maka putusan 174 K/pdt/2011 tidak bisa dijadikan dasar hak milik atas tanah objek sengketa.
“Dengan alasan hukum inilah, maka diduga kuat ada kriminalisasi terhadap klien kami, ibu Etty Rasyid Palar yang dilapor dan dipidanakan sebagaimana disebut dalam surat panggilan polisi No.S.Pgl/365/X/2020/Ditreskrimum tertanggal 5 Oktober 2020. Karena itu kami telah libatkan berbagai lembaga negara termasuk Komnas HAM. Sehingga, Komnas HAM telah menggagendakan pengaduan kami, sebagai masalah pelanggaran HAM yang akan diinvestigasi lebih lanjut. Demikian pula halnya dengan MARI yang diminta menginvestigasi proses kasasi putusan 174K/pdt/2011 dan penggunaannya, termasuk berbagai upaya hukum lain.
Disamping itu, menurut ahli hukum pidana, Jhon Pasalbessy dalam permasalahan ini, terkait apa yang dilakukan oleh Lenny Christanto sudah sangat jelas memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan pidana.