Cara Licik BWS Dibalik Pembayaran Ganti Rugi Proyek Bendungan Waiapu

Anggota Komisi III DPRD Provinsi Maluku, Ikram Umasugi. Foto-Ist/TN

TEROPONGNEWS.COM, AMBON – Ketidaktahuan warga, soal aturan yang mengatur proses ganti rugi lahan menjadi senjata pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku, untuk mengelabuhi warga pemilik lahan di areal proyek Bendungan Waiapu, di Kabupaten Buru.

Cara Licik mulai dipikirkan oleh BWS. Caranya, dengan menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 tahun 2016 dengan hanya memberikan santunan, tanpa ada ganti rugi tanah. Diduga, ada skenario yang diatur antara BWS bersama pihak Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Memang, dari awal sudah ada masalah soal pembayaran ganti rugi untuk lahan milik warga adat seluas 422 hektar, untuk pembangunan Bendungan Waiapu. Akibatnya, Penjabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut, Jackson Tehupuring harus dicopot dari jabatannya, dan diganti dengan Ruslan Malik. Namun bukannya membaik, malah lebih bermasalah lagi.

Menyikapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPRD Provinsi Maluku, Ikram Umasugi menegaskan, seharusnya untuk melakukan proses ganti rugi, BWS dan KJPP harus perpatokan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pasalnya, UU tersebut telah mengatur soal ganti rugi tanah untuk kepentingan umum.

Menurutnya, penjabaran UU Nomor 2 Tahun 2012, telah dituangkan dalam Perpres 71 Tahun 2012 dan juga Perpres 107 tahun 2016, dimana diatur pula ganti rugi tanah ulayat milik masyarakat hukum adat.

“Jadi, BWS dan KJPP jangan menipu masyarakat dengan menggunakan Perpres Nomor 62 tahun 2016. Mereka juga harus menjelaskan soal UU Nomor 2 Tahun 2012. Karena di UU itu berbicara soal ganti rugi lahan warga adat, untuk kepentingan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Nah, jadi yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, adalah pembangunan untuk waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya,” tegas Ikram kepada Teropongnews.com, di Ambon, Sabtu (5/9).

Dia menduga, pihak BWS telah melakukan kejahatan secara terencana, demi untuk mendapat lahan adat milik warga tanpa ganti rugi, namun hanya melalui pemberian santunan, yang anggarannya pasti lebih kecil, dari proses ganti rugi.

Menurutnya, Ruslan Malik, PPK Buru yang menangani proyek ini harus dicopot, dan diganti dengan lain lain, agar persoalan pembayaran ganti rugi lahan warga adat di Bendungan Waiapu tidak berkepanjangan.

Bukan saja itu, Ikram juga mengancam akan melaporkan masalah tersebut ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), lewat rekomendasi.

“Ini soal hak-hak masyarakat. Jangan hanya karena ingin “merampok”, lalu kemudian hak-hak masyarakat diabaikan. Kalau tidak becus kerja, mundur saja. Saya tegaskan lagi, masalah ini akan kami (Komisi III) laporkan ke Kementerian PUPR,” kata dia kesal.

Sementara itu, PPK Pulau Buru, Ruslan Malik mengaku, jika pembayaran ganti rugi lahan dalam bentuk santunan berdasarkan Perpres Nomor 62 tahun 2016, lantaran lahan adat milik warga berada di kawasan Hutan Lindung.

“Jadi, bukan kami tidak mau mengganti rugi, tapi karena lahan warga adat berada di kawasan hutan lindung. Dan soal pembayarannya itu, sudah ada aturannya,” tegas dia ketika dihubungi terpisah.

Selain itu, menurut Ruslan, tanah milik warga adat itu, tidak memiliki surat-surat kepemilikan, seperti misalnya serifikat. “Jadi kami bayar dalam bentuk santunan,” tandas dia.

Untuk diketahui, mega proyek Bendung Waiapu merupakan proyek strategis nasional yang proses pengerjaannya konstruksinya hingga tahun 2022.

Pembangunan bendungan yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo itu ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh mantan Gubernur Maluku, Said Assagaff dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Hari Suprayogi pada 12 Februari 2019 lalu, di lokasi proyek tersebut.

Proyek Waiapu terdiri dari tiga paket dengan total Rp 2,223 triliun. Terdiri dari pembangunan fisik, meliputi paket 1 dengan kontraktor Pembangunan Peruhaman, PT Adhi Karya (KSO) Rp 1,609 triliun, paket 2 kontraktor PT. Hutama Karya, PT. Jasa Konstruksi (KSO) senilai Rp 1,103 triliun dan kontrak paket supervise senilai Rp 74 miliar dengan PT. Indra Karya.