TEROPONGNEWS.COM, MERAUKE – Butuh waktu kurang lebih empat jam dari ibu kota kabupaten untuk sampai di Kampung Senegi (dalam beberapa dokumen ditulis Zanegi atau Sanegi), di Distrik Anim Ha, Kabupaten Merauke, Papua. Jaraknya sebenarnya hanya sekitar 60 kilometer (km), melewati dua distrik yakni, Distrik Tanah Miring dan Distrik Kurik, namun kondisi jalannya amat buruk.
Jalan menuju Distrik Anim Ha mulai dari persimpangan Wawan, daerah Salor, masih berupa jalan tanah, meski sudah dilebarkan oleh pemerintah daerah. Jalan ini berdebu pada musim kemarau dan berlumpur, tergenang air, serta licin pada musim penghujan. Warga harus ekstra hati-hati ketika melalui jalan ini, terutama di musim hujan, seperti sekarang. Kabarnya sering terjadi kecelakaan di jalur ini.
Namun, penderitaan karena terombang-ambing di jalan penuh kubangan, terobati pemandangan menarik di sepanjang jalan antara ibu kota distrik Anim Ha dan kampung Senegi. Hutan asli menghampar di sisi kiri dan kanan jalan. Udara terasa sejuk. Pohonnya beragam. Yang dominan adalah pohon bus putih (Melaleuca sp), pohon Bus Merah (Planchonia sp), pohon Besi lapang atau Sarwak (Eugenia sp), sagu, eucalyptus, dan, di areal PT. Selaras Inti Semesta (SIS), pohon Akasia (Acacia sp.).
Menggunakan mobil dobel kabin warna Hitam, Sabtu (13/6/2020), sekitar Pukul 11.24 WIT, saya dan dua rekan akhirnya sampai di pintu masuk Kampung Sanegi. Tidak ada gapura atau papan nama kampung di gerbangnya. Hanya terdapat deretan rumpun sagu di kiri kanan jalan, di dekat rumah warga yang terletak di ujung kampung itu.
Tampak sejumlah warga sedang asyik duduk di bawah pohon di halaman rumah. Rata-rata rumah di kampung ini semi permanen, dibangunnya berjejer. Sejenak mereka memperhatikan mobil yang kami tumpangi. Tapi kami tak mampir. Kami sudah ditunggu kepala kampung dan tokoh adat setempat.
Berdasarkan data geografi Badan Pusat Statistik Merauke tahun 2019, luas wilayah kampung Senegi adalah 552,83 Km persegi. Sebelah Timur berbatasan dengan kampung Baad, di Utara dengan kampung Kaptel. Kedua kampung berada di distrik Anim Ha. Di sebelah Barat berbatasan dengan kampung Domande, sistrik Malind, dan di selatan berbatasan dengan kampung Kaliki, distrik Kurik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten Merauke tahun 2020 mencatat, jumlah penduduk di kampung Senegi 525 jiwa, laki-laki 269 jiwa, perempuan 256 jiwa.
Kampung Senegi adalah kampung lokal yang di dalamnya tinggal masyarakat asli Papua dari suku Marind. Terdapat tujuh marga yang mendiami kampung Sanegi yaitu, Marga Gebze, Samkakai, Kaize, Ndiken, Mahuze, Basikbasik dan Balagaize. Masing-masing marga mempunya Totem sendiri. Totem marga Gebze adalah kelapa, Totem marga Samkakai adalah Saham (sejenis hewan Kanguru), Kaize (Kasuari), Ndiken (Wati), Mahuze (Sagu), Basik Basik (Babi), dan Balagaize (Buaya).
Totem adalah suatu benda yang dijadikan sebagai symbol dari satu Marga. Benda tersebut memberikan kehidupan lahir dan batin. Bisa dijadikan sebagai makanan dan menjiwai hidup, sehingga mereka meyakininya bahwa mereka berasal dari Totem tersebut. Tetapi, ada juga Totem yang diyakini sebagai pemberi kehidupan bukan dari makanan. Seperti di distrik Kimam, mereka menyebutnya Rembe (tanah) memberi kehidupan, Bintang dan Matahari pemberi sinar, itulah yang disebut Totem menurut keyakinan orang Marind.
Masing-masing marga menghormati dan menjaga Totemnya. Sebagai contoh, Marga Mahuze yang punya Totem Sagu, sangat menghormati tanaman itu. Alhasil, mereka tidak mau menjual Sagu, sebab kalau mereka menjualnya, mereka sama saja menjual Totemnya.
Di Senegi, masyarakat masih mengandalkan hidup dari berburu dan meramu. Lokasi tempat berburu dan meramu adalah hutan dan rawa gambut di sekitar kampung.
Senegi memang berdiri di atas gambut. Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Luas gambut di Senegi sangat luas mencapai 43 persen dari total wilayah 552,83 Km persegi, namun sebagian besar ditetapkan sebagai wilayah ekosistem gambut dengan fungsi budidaya berdasarkan peta BRG, luas KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) di kampung ini sekitar 23.541 hektar. 19.243 hektar fungsi budidaya dan 4.298 hektar ekosistem gambut fungsi lindung.
Belum ada referensi yang menunjukkan kedalaman dan kedangkalan gambut di Senegi. Wilayah gambut di Senegi memanjang dari Utara di sekitar sungai Bian (perbatasan kampung Kaptel) hingga ke Selatan (perbatasan kampung Kaliki). Sumber: pengukuran peta KHG milik BRG https://prims.brg.go.id/ yang diambil dari sumber pengukuran WebGIS LHK.
Gambut dalam bahasa setempat disebut Hoom. Dalam bahasa Indonesia mereka menyebutnya tanah goyang. Dinamakan tanah goyang karena saat dipijak, tanahnya tidak padat, tapi lembek, namun tidak berbahaya. “Gambut sebagai sumber air bagi kami di musim panas. Selain itu, ada ikan Mujair, Betik, Udang, Gastor, Buaya, dan hewan air lainnya yang menjadi sumber makan,” kata kepala kampung Senegi, Natalis Basikbasik, Sabtu (13/6) di rumahnya.
Menurut Natalis, warganya belum tahu banyak soal karakteristik gambut, sungguhpun selama ini hidup di atasnya. Soalnya, belum ada pihak luar yang mensosialisasikan secara lengkap mengenai hal tersebut. Sungguhpun begitu, warga paham betul bahwa hoom dan setiap mahluk yang hidup di atasnya harus dijaga, karena hidup mereka bergantung sepenuhnya pada kelestariannya.
Untuk melestarikan ekosistem Hoom, warga Senegi punya sejumlah tradisi. Misalnya, warga sering membatasi aktivitas berburu atau mengambil Sagu pada satu waktu di satu lokasi. Setelah hewan dan Sagu kelar dipanen, di lokasi itu dipasang tanda Sasi (tanda larangan). Tujuannya untuk membiarkan tanaman Sagu dan semua hewan atau binatang buruan berkembang biak kembali. Ritual Sasi disahkan dengan menanam sebatang kayu atau tiang Miza yang dililiti tali untuk mengikat daun-daun sebagai tanda pengenal atau simbol Sasi berlaku.
Mantan kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Merauke, Daud Holenger, menyebutkan Sasi secara umum terdiri dari dua macam, yakni Sasi Gereja dan Sasi Adat. Sasi Gereja adalah larangan yang disertai doa yang ritulnya dilakukan di gereja. “Ini lebih khusus pada kawasan umum yang sumber daya alamnya akan dimanfaatkan secara bersama tanpa memandang suku. Sanksinya berupa beragam musibah bagi pelanggar,” ujarnya.
Sasi Adat, menurut Daud, diawali dengan ritual secara adat menggunakan ungkapan dengan bahasa daerah yang di dalamnya menyebutkan bahwa di wilayah yang dipasang sasi tidak boleh ada aktivitas dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktunya bisa bulan atau tahun. Bila dilanggar, sanksinya bisa berupa tanda-tanda alam seperti guntur dan kilat hingga digelarnya sidang adat dan bahkan eksekusi bagi yang sudah kelewatan,” tutur Daud Ketika dihubungi melalui telepon Seluler.
Pada zaman dahulu, pemberian sanksi pada pelanggar Sasi yang dilakukan melalui sidang adat bisa berupa pencabutan hak hidup atas tanah tersebut dan pengusiran dari kampung. Bahkan, sebelum agama masuk, sanksi adat bisa berupa eksekusi dengan cara dibunuh atau pelaku dijual ke pihak musuh kampung untuk dibunuh, karena dianggap mengganggu keseimbangan. “Tapi itu dulu, sekarang paradigmanya sudah berubah,” jelas tokoh agama Katolik Merauke, Pastor Pius Manu dalam sambungan telepon.
Masih ada jenis Sasi lainnya. Ketika ada warga kampung yang meninggal, masyarakat adat juga memasang Sasi di salah satu wilayah sebagai tanda berduka. Di wilayah ini warga tidak boleh berburu. Lamanya bisa satu tahun atau bahkan sampai lebih tergantung kondisi dusun. Secara khusus bagi pelanggar Sasi ini akan dikenakan denda berupa Siri Pinang dan minuman adat dari pohon Wati atau denda Karma. Dengan cara inilah ekosistem rawa dan hutan Senegi dijaga.
Berburu dengan Bantuan Api
Warga Senegi biasanya berburu dengan menombak, memanah, memotong, atau memasang jerat. Jika lokasi perburuan jauh dari kampung, mereka akan bermalam di dusun di sekitar hutan atau rawa tempat mereka berburu. Dusun adalah bagian tanah, Rawa, Sungai, Tumbuhan atau Hutan yang diwariskan oleh nenek moyang kepada setiap marga sebagai tempat mencari makan. Masing-masing marga di Senegi punya dusun atau wilayah hutan. Ada Dusun Moha, Bubob, Watkin, Mbor, Yandoma, Busdi, Awawti, Kombadi, Barau, Samun, Nggativik, Buneti, Kakor, Ombo, Mayo, Rarmi, Kwalor, Nduamdem, Doigag, Tabuskamb, Wati, Waranepo, Ohar, Ahomkind, dan Kombera yang terletak di pinggir Kali Bian sebagai dusun terbesa.
Perburuan biasanya dilakukan di dekat sumber-sumber air yang pasti akan didatangi binatang. Dengan begitu, pemburu tak perlu susah payah menjelajahi dusun. Tapi ada cara lainnya. Misalnya, untuk berburu Kanguru, pemburu biasa meniru bunyi ekor Kanguru yang memukul-mukul tanah saat berjalan. Tujuannya, ketika bunyi tersebut didengar Kanguru lain, Kanguru itu akan mendekati sumber bunyi sehingga bisa ditombak atau dipanah.
Suku Marind juga mengembangkan teknik berburu di tanah goyang yang tiada duanya. Itu adalah berburu menggunakan Bantuan Api. Mereka menyebut tekniknya Api Kendali, karena lahan dibakar dalam pengawasan sehingga api tidak meluas. Teknik ini hanya dilakukan di lahan terbuka yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon, dan bukan di hutan. Selain suku Marind di Senegi, cara ini dilakukan suku Marind di kampung Kaliki.
Tradisi berburu dengan terlebih dahulu membakar lahan hanya dilakukan pada musim Kemarau saat semak mengering. Di musim ini, masyarakat juga biasanya kesulitan untuk mendapatkan hewan buruan, sebab binatang cenderung mencari makan di tempat yang jauh demi mendapatkan tumbuhan hijau. Tujuan dari membakar lahan adalah untuk merangsang tumbuhnya rumput pasca bakar, sehingga mengundang kedatangan hewan buruan. Dengan cara ini, pemburu tidak mesti pergi berburu jauh ke hutan.
Tapi, teknik ini tak selalu aman. Diduga gara-gara ini, pada tahun 2015 terjadi kebakaran hebat di gambut Merauke. Kebakaran tersebar di distrik Muting, Kurik, Ulilin, dan Anim Ha. Khusus Anim Ha, di kampung Senegi, luas ekosistem gambut terakhir (fungsi budidaya dan fungsi lindung terbakar tahun 2019) fungsi budidaya adalah 300.93 ha dan fungsi lindung 4.41 ha. Sementara, luas ekosistem gambut di areal perusahaan yang terbakar tahun 2019, di PT Selaras Inti Semesta (SIS) luas ekosistem gambut terbakar di kubah 411,23 ha, non kubah 556.68. luas non gambut terbakar, 1,844.76 ha.
Perburuan itu juga tak selalu berhasil. Hewan buruan bisa saja raib, misalnya karena berhasil melepaskan diri dari jerat atau meleset dipanah. Namun, sejauh ini hasil buruan warga Senegi cukup melimpah, berkat adanya sistem Sasi yang melestarikan Flora dan Fauna di dalam dusun masing-masing. Binatang buruan berupa rusa, Babi Hutan, Kanguru, Saham, Kasuari itu hasilnya selain dikonsumsi sendiri, juga untuk dijual. Harganya bervariasi. Misalnya, daging Rusa dijual Rp30.000/kg, Babi Rp10.000/kg, dan Saham Rp.15.000/kg. Uangnya bisa dipakai untuk membeli beras dan kebutuhan lain.
Tempat Singgah Leluhur
Ada alasan lain yang membuat gambut Senegi lestari. Alasan itu adalah karena di kampung tersebut terdapat banyak titik yang dianggap sakral, yang diyakini dahulunya menjadi tempat kumpul atau jalur yang dilintasi para leluhur. Menurut cerita, leluhur suku Marind terbagi dua, yakni yang bernenek moyang manusia Purba (Homo erectus) dan manusia Modern (Homo sapiens). Mereka yang berasal dari keturunan manusia Purba adalah marga Gebze, Kaize, Mahuze, Balagaize, Ndiken, dan Samkakai. Sedangkan yang berasal dari Homo Sapiens adalah Basikbasik.
Tempat-tempat sakral ini sangat dijaga oleh warga dan aktivitas di dalamnya sangat dibatasi. Di tempat-tempat keramat ini juga ada pohon keramat. Pohon itu seperti pohon Beringin (Ficus sp.) atau dalam bahasa Marind disebut Mudwab. Pohon Mudwab tanpa melihat lingkar batangnya, tingginya, maupun usianya itu oleh mereka diyakini sebagai tempat roh leluhur berkumpul.
Karena itu tak ada yang berani merusak pohon Mudwab keramat ini. Ekosistem di sekitarnya pun ikut terjaga, karena fungsi Mudwab bagi ekosistem gambut adalah sebagai tanaman pelindung dan sebagai sumber air. Bagaimana semua tradisi warisan leluhur ini diawetkan warga Senegi?
Menurut tokoh adat kampung Senegi, Yosep Mahuze, para orang tua akan menyampaikan semua tradisi warisan leluhur kepada anaknya, saat anaknya telah memasuki usia 15 tahun. “Supaya mereka mengenal, mengerti dan melanjutkan apa yang sudah ada sejak lama,” tutur Yosep Mahuze.
Saat inilah, ujar Yosep, orang-orang tua akan menyampaikan segala informasi penting menyangkut adat, budaya, tradisi, serta batas-batas wilayah tempat masing-masing mencari makan. Ada pula upacara pendewasaan seorang anak. Bagi anak perempuan upacaranya berupa tusuk telinga. Bagi anak laki-laki ritualnya berupa pemasangan busur oleh pamannya, sebagai tanda pendewasaan dan tanda bahwa anak-anak itu sudah punya tanggung jawab yang sama.
Namun perubahan adalah keniscayaan, termasuk di Senegi. Sebagian warga kini sudah mulai bercocok tanam. Mereka menanam umbi-umbian, seperti Ubi Jalar dan Singkong, sebagai pangan alternatif selama mereka tidak turun ke dusun. Ada pula pohon buah-buahan, seperti Jambu Air, Mangga, Jeruk, Pisang, dan Nenas yang ditanam di sekitar pekarangan rumah.
Pada 2017, Dinas Pertanian juga pernah membantu membuka lahan sawah di dekat kampung Senegi. Luasnya satu hektare. Tetapi program ini tidak berlanjut karena kurangnya pendampingan.
Sejumlah perusahaan juga sudah datang ke Senegi. Ada, misalnya, PT. Selaras Inti Semesta (SIS), anak perusahaan PT. Medco Papua Industri Lestari. Perusahaan ini beroperasi sejak 2010. Menurut keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Tanam Industri SK.18/Menhut-II/2009, luas lahan PT SIS di Senegi sekitar 169.400 ha atau sekitar 30 persen dari luas Kampung Senegi.
Usaha PT SIS di Senegi adalah produksi kayu Chip dan Wood Pellet. “Tapi stagnan sejak 2014 karena harga pasar anjlok. HTI sebagai suplay bahan baku kena imbas, hanya bisa jalankan penelitian dan uji coba serta Corporate Social Responsibility (CSR) wajib damping masyarakat saja,” jelas Manajer Planning/License PT SIS Merauke, Ir. Pol Karnadi.
Karena itu, sebagian besar karyawan juga dialihkan kegiatannya ke pengembangan pertanian dan pembangunan industri listrik tenaga biomassa (PLTBM) kapasitas 3,5 MW di Wapeko, Distrik Kurik.
Menurut Natalis, kehadiran perusahaan memiliki dampak negatif dan positif. Pengaruh negatifnya, ujarnya, hewan buruan semakin jauh. Soalnya, “Walaupun perusahan menanam kembali, tetapi pemanfaatanya sudah berbeda,” kata dia. Namun, ada banyak pula dampak positifnya.
Di bidang pendidikan, misalnya, PT SIS memberikan bantuan biaya pendidikan anak sekolah, fasilitasi bahan makanan, dan transportasi siswa SD untuk Ujian Nasional (UN) serta pembayaran honor bagi lima guru SD YPPK Sanegi. Di bidang adat, ada fasilitasi bama pertemuan dan ritual adat.
Di bidang transportasi, ada fasilitasi transportasi masyarakat antar kampung dan ke kota Merauke, BBM untuk stakeholder Sanegi. Di bidang infrastruktur, ada bantuan perbaikan jalan dan jembatan Kampung Sanegi. Di bidang keagamaan ada bantuan perayaan Natal dan Paskah, pembangunan gedung Gereja Katolik, dan dana rapat Pastoral.
Badan Restorasi Gambut
Usai mendapatkan informasi di kampung, kami menyusuri hutan diantar pemuda setempat, Daniel Yangguan. Hutan yang kami datangi terlihat masih terjaga. Dengan fasih Daniel menunjukkan mana pohon untuk bahan membangun rumah, obat-obatan, hingga pohon yang daunnya dapat dipakai sebagai pewarna kerajinan tangan.
Di rawa Senegi, Daniel menunjukan beragam rumput. Misalnya, tumbuhan yang dalam bahasa setempat disebut daun Wib dan Tanum. Kedua tanaman ini bisa dimanfaatkan mama-mama untuk bahan membuat Noken dan Tikar. Sayangnya, potensi kerajinan ini belum berkembang di Senegi, karena masih kurangnya perhatian, dukungan, dan pendampingan dari instansi terkait.
Sempat ada peluang potensi kerajinan berbasis gambut ini bisa dikembangkan, seiring masuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) di Kampung Senegi. “BRG masuk ke Senegi pada Juni 2020 untuk mensosialiasikan lebih luas apa itu lahan gambut kepada masyarakat,” kata fasilitator BRG Kampung Senegi, Maranata.
BRG adalah badan yang dibentuk atas instruksi Presiden RI Joko Widodo setelah terjadi kebakaran besar pada 2015 di beberapa provinsi di Indonesia. BRG memiliki tugas untuk mengatasi masalah pasca kebakaran di lahan gambut, termasuk di Kabupaten Merauke. “Salah satu programnya berupa Desa Peduli Gambut (DPG), pendampingan melalui tenaga fasilitator kampung (Faskam) yang tugasnya mendampingi masyarakat kampung,” kata Resna Simbolon, narahubung BRG Papua, yang menghela program Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan. Tujuannya adalah, untuk sosialisasi pembangunan kampung berkelanjutan.
BRG juga punya program Sekolah Lapang Peduli Gambut. Kegiatan dalam program ini aneka ragam, dari membantu kader petani untuk bercocok tanam, sosialiasi dan pelatihan bagi guru SD untuk mengajak anak-anak peduli lingkungan, hingga pelatihan kepada mahasiswa dan ibu-ibu PKK untuk pengembangan hidroponik. Masalahnya, semua kegiatan tersebut terhadang pandemic Covid-19. Padahal, masa tugas BRG sendiri dari 2016 hingga 2020. Jadi, ini menjadi tahun terakhir BRG bekerja.