Ambon, TN – Presiden JokowI Widodo menaikkan Iuran BPJS Kesehatan di tengah Pandemik wabah Virus Corona (Covid-19), lewat Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tentang Jaminan Kesehatan, keputusan kontroversial tersebut ditetapkan. Beleid yang ditandatangani pada Selasa, 5 Mei 2020 merupakan perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
“Mahkamah Agung telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Presiden malah menabrak putusan tersebut dengan menaikan iuran BPJS. Tanda jika wajah pemerintah saat ini defisit nurani kepada wong cilik,” kata Anggota Komisi VII DPR RI, Saadiah Uluputty dalam siaran persnya yang diterima Teropongnews.com, di Ambon, Minggu (17/5).
Menurutnya, sikap Presiden soal iuran BPJS linier dengan sikap ambivalen terhadap harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Harga BBM yang harusnya diturunkan, karena harga minyak mentah dunia saat ini rendah, dan faktor pembentuk harga BBM sudah seharusnya mengalami penyesuaian. Harga BBM malah tidak turun-turun.
“Harga BBM yang seharusnya turun, tidak diturunkan. Kebijakan diperparah dengan menaikan iuran BPJS. Keputusan MA menolak usulan kenaian iuran BPJS malah tidak dianggap sama sekali oleh pemerintah. Presiden offside,” tegas dia.
Uluputty menegaskan, kenaikan iuran BPJS semakin menambah daftar beban rakyat yang terpuruk di tengah wabah Virus Corona. Saat daya beli masyarakat semakin turun karena PHK dan kehilangan mata pencaharian, pemerintah malah menambah daftar gelisah wong cilik dengan menaikkan iuran BPJS.
Negara, lanjut dia harusnya hadir menampakkan solusi untuk menyelesaikan beban rakyat yang kian berat karena wabah covid. Bukan menimpakan tambahan beban dengan kebijakan tak popular, menaikan harga BPJS. Rakyat semakin sesak menghadapi situasi demikian.
Secara tegas Mahkamah Agung menetapkan dalam keputusannya, kesalahan dan fraud dalam pengelolaan dan pelaksanaan program BPJS, yang menyebabkan defisit tidak boleh dibebankan kepada rakyat dengan menaikan iuran kepesertaan. Apalagi dalam kondisi ekonomi global yang tidak menentu.
Masalah defisit dana jaminan sosial yang digembar-gemborkan pemerintah diakibatkan oleh fraud dalam pengelolaan. Ini malah dipindahkan bebannya kepada rakyat. Rakyat sudah mensubsidi negara dengan membeli BBM mahal, sekarang rakyat dipaksa membayar iuran BPJS lebih mahal, untuk menutupi dampak dari fraud dalam pengelolaan BPJS.
“Baik pandangan hukum maupun etis, menaikkan iuran BPJS adalah, kebijakan yang minim empati terhadap rakyat. Tidak etis. Seharusnya memberi solusi, malah negara tidak hadir untuk memberi kepastian perlindungan bagi rakyat,” tandas Uluputty.