Andi Rahmat

Selain kebijakan yang berhubungan dengan aspek penanganan kesehatan. Ada dua pokok kebijakan bidang ekonomi yang menonjol dari kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah terkait dengan pandemi Covid-19.

Yang pertama, peningkatan dan penggunaan kebijakan pelebaran defisit. Dan yang kedua, perluasan kewenangan Bank Indonesia dalam skema open ended policy, terutama dan termasuk pemberian kewenangan kepada BI untuk masuk ke pasar primer obligasi.

Tulisan saya sebelumnya sudah membicarakan mengenai perlunya mengarusutamakan ekonomi informal dalam kebijakan ekonomi. Dan juga perlunya menegaskan skala keberpihakan kepada UMKM dalam penanganan krisis ekonomi sebagai dampak paralel dari pandemi Covid-19.

Dalam tulisan ini, saya mengajukan proposal tentang perlunya obligasi sektor informal dan UMKM sebagai wujud keberpihakan dan pengarusutamaan kebijakan ekonomi. Pelebaran defisit dan skema Open Ended Policy BI adalah modal utama untuk menjalankan kebijakan ini. Apalagi, Kementerian Keuangan telah mendeklarasikan keinginannya untuk menerbitkan Pandemic Bond dalam upaya memitigasi resiko industri yang terpapar dampak pandemi Covid-19.

Andreas Kluth dalam artikelnya yang berjudul “This Pandemic Will Lead to Social Revolution” (Bloomberg, 11/04/2020) menuliskan “As the coronavirus sweeps the world, it’s hits the poorer much harder than the better off. One consequence will be social unrest. Even revolution.” Peringatan artikel ini seharusnya menyadarkan kita semua betapa dalamnya resiko krisis yang tengah kita hadapi ini. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi yang bisa berujung pada kegelisahan sosial; bahkan memicu revolusi.

Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dengan cepat oleh banyak otoritas di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar USD 2,3 triliun yang sebagian besarnya diperuntukkan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara, infrastruktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai.

Terus terang, tulisan saya ini membawa kekhawatiran mendalam terhadap tradisi dan pola penanganan krisis ekonomi yang selama ini dipraktekkan oleh otoritas ekonomi kita. Baik itu di sisi kebijakan fiskal, maupun kebijakan moneter. Sensitivitas terhadap problem ekonomi yang dialami sektor informal dan UMKM dalam catatan ingatan kita, selalu berwujud dalam bentuk kebijakan ‘charity’ negara terhadap sektor ini. Padahal yang diperlukan dalam kondisi ini adalah penghormatan mutlak terhadap peran dan daya ungkit sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.

Lantas apa yang menjadi konsepsi dasar dari obligasi sektor informal dan UMKM ini?

Di dalam paket kebijakan stimulus senilai Rp 405 triliun, pemerintah mengalokasikan tidak kurang dari Rp 70,1 triliun untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Secara jumlah, fasilitas KUR ini adalah fasilitas terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah sejak krisis 1998. Sebagai permulaan, alokasi ini setidaknya menunjukkan itikad sehat dari pemerintah dalam menangani dampak ekonomi yang diderita sektor UMKM.

Namun kedalaman persoalan yang membelit sektor UMKM dan ekonomi informal sudah tentu membutuhkan alokasi kebijakan yang lebih besar. Sumbangsih UMKM terhadap PDB Nasional sejak tahun 2018 telah mencapai lebih dari 60%. Sekitar 127 juta tenaga kerja hidup di sektor ini. Khusus ekonomi informal, kendati tidak ada data resmi dalam sumbangsihnya terhadap pembentukan PDB Nasional, namun kontribusinya dalam menyediakan lapangan kerja di masa krisis sudah tidak diragukan lagi.

Karena sumbangsihnya yang vital dalam struktur PDB Nasional, upaya mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, secara gradual, sektor UMKM perlu memperoleh porsi yang setara. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi sepatutnya mencerminkan porsi sumbangsih tersebut. Tidak sebaliknya.

Di sinilah terletak arti penting perlunya menerbitkan obligasi yang dikhususkan untuk memperkuat sektor ini. Obligasi ini diterbitkan pemerintah dan dibeli oleh Bank Indonesia.

Pembelian oleh Bank Indonesia menyebabkan skema alokasinya akan berbiaya murah dan tidak membebani UMKM dengan bunga pinjaman yang mahal. Keuntungan berikutnya adalah keleluasaan pemerintah dalam mengelola dan menghitung resiko “non performingnya.”

Dengan ketersediaan dana yang besar dan sasaran penyaluran yang pasti, juga akan berdampak pada tingkat kestabilan sistem keuangan. Dalam penyalurannya, tentu pemerintah akan menggandeng institusi keuangan sebagai perantaranya. Dikarenakan kepastian sasarannya, maka institusi keuangan yang dijadikan mitra tidak akan menjadikan ini sebagai ‘bancakan’ ( cash hoarding) dalam neracanya.

Bagaimana dengan kemungkinan moral hazardnya? Pengalaman mikro selama ini dalam skema penyaluran KUR dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Tentu dengan sejumlah modifikasi yang sesuai. Akuntabilitasnya sendiri memerlukan suatu pengaturan lebih lanjut yang memuat kriteria mitra penyalur dan sasaran UMKM yang spesifik.

Pemerintah sendiri perlu untuk mendeklarasikan ini sedini mungkin. Agar langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan ditempuh pemerintah menjadi jelas bagi pelaku usaha UMKM. Pelaku usaha UMKM memerlukan ‘ruang segar’ dalam horison pemulihan ekonomi. Kepastian semacam ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi UMKM dan sektor informal dalam membalik keadaan ekonomi mereka. Dalam situasi kritis, horison kebijakan yang memberi ‘ruang segar’ selalu merupakan kunci bagi upaya pemulihan itu sendiri. Wallahu‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.