Opini

Hari Buruh dan Krisis Saat Pandemi Covid-19

×

Hari Buruh dan Krisis Saat Pandemi Covid-19

Sebarkan artikel ini
Prasetyo Nugraha

Hari ini adalah periode yang paling krusial dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Sebab, dalam peringatan may day (hari buruh) tahun 2020, di saat sebagian besar masyarakat pekerja menunaikan ibadah di bulan suci, pekerjaannya terancam digerogoti virus pandemi. Tanpa keputusan yang tepat dan penanganan yang cepat, ledakan krisis multidimensi akan tambah sulit dielakkan.

1513
Mana Calon Gubernur Papua Barat Daya Pilihan Anda yang Layak?

 www.teropongnews.com sebagai media independen meminta Anda untuk klik siapa calon yang digadang-gadang oleh Anda untuk dipilih dan layak jadi calon Gubernur Papua Barat Daya Periode 2024-2029,  kemudian klik Vote pada bagian paling bawah ini.

Sejak Covid-19 merebak di Indonesia, virusnya merambah indeks saham di lantai Bursa Efek Indonesia hingga melemah 33 persen dibandingkan dengan awal 2020, terburuk sejak 2015. Belum lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang tidak pernah turun, berkutat di level 15.000 (ke atas), terendah nomor 3 di dunia. Corona disyakwasangkakan penyebab investor asing di pasar uang dan pasar modal menarik dananya dari pasar Indonesia yang mengakibatkan pasar saham mengalami kehancuran, resesi semakin meluas dan mengarah ke krisis ekonomi. 

Gambaran kondisi ini memukul pinsan perekonomian kaum pekerja sedunia, tanpa kecuali di Indonesia. Di tengah himbauan pemerintah agar tetap di rumah, para pekerja terancam dirumahkan. Baru satu musim Corona saja, korban terpapar hampir dua juta yang telah diputuskan hak kerjanya. Jumlah ini akan berhenti jika wabah Corona di Indonesia dihentikan. Jika tidak, gelombang pemutusan hak kerja akan makin meningkat di bulan-bulan berikutnya.

Bisnis dalam Pendemi 

Ketakutan terjadi bukan hanya karena ancaman virus Corona, tetapi lebih dari itu, bagi masyarakat kelas pekerja yang bergantung hidup dengan gaji, mereka lebih takut jika harus kehilangan pekerjaan atau kekurangan gajinya. Krisis ekonomi diperkirakan membuat 50 juta masyarakat pekerja terancam dipecat atau dipotong upahnya. Ini merupakan dampak Covid-19 yang dialami oleh setiap dari mereka, baik pekerja formal dan informal, atau negeri (pegawai rendahan) dan apalagi pekerja swasta. Mereka adalah korban dari dampak ketidak mampuan dalam mengendalikan Covid-19 di Indonesia.

Pemutusan hak kerja bukan masalah baru, sejak orde baru masalah kelas pekerja telah menjadi penyakit yang obatnya selalu diresepkan oleh Bank Dunia dan IMF. Sialnya, obat tersebut sedang bekerja, atau sama sekali tidak berguna, dan bahkan mengundang penyakit lain. Sebab, selama rentang 50 tahun obat tersebut tidak kunjung memberikan kesehatan bagi sistem ketenagakerjaan. Munculnya Covid-19 seakan membuka kotak pandora untuk memantik isuenya agar lebih komplek.

Di tengah semakin cepatnya penularan Covid-19 yang dituding sebagai biang persoalan, koreksi terhadap virus itu sendiri harus dilakukan. Karena sebelum mensasar masyarakat kecil dan daerah terpencil, Covid-19 ialah sebuah penyakit mewabah yang menjangkiti “kelas menengah ke atas. Kelompok yang tertular dan menularkannya pertama kali hingga ke daerah adalah mereka dari kalangan elit. Virus ini menyebar melalui relasi nasional bahkan internasional. Atau, paling tidak mereka yang telah berpulang dari perjalanan internasional atau kota-kota besar di Indonesia.

Alur perjalanan virus di mulai pada bulan maret, menjalar ke kota-kota besar. Tetapi sayangnya, pemerintah masih memanfaatkan situasi dengan mempromosikan destinasi investasi Indonesia di hadapan dunia yang sedang dilanda Corona. Pemerintah berupaya menutupi wabah ini jutru demi mendongkrak ekonomi. Dampaknya begitu fatal pada saat berjatuhan korban dari kalangan menteri, pejabat tinggi negara, kepala daerah, legislator, dan hingga direktur rumah sakit, dsb. Kepanikan bertambah saat memasuki april 2020, dengan sangat cepat, agregasi virus meluas ke seluruh pulau, provinsi, kota dan kabupaten se-Indonesia.

Ketidakmampuan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan Covid-19 tampak pada data statistik dibuat oleh pemerintah itu sendiri. Terhitung pada dua bulan terakhir, sejak tanggal 2 Maret 2020, sampai saat ini, nyaris tidak ada provinsi yang tidak dihinggapi virus Corona dengan jumlah terkonfirmasi positif mencapai lebih 10.000 kasus. Jumlah ini dapat 10 kali lipat kumulasinya mengingat antrean panjang spesimen dan korban masih berjatuhan setiap harinya. 

Indonesia telah mengelontorkan uang sebesar 405 triliun rupiah untuk penanggulangan Covid-19. Alih-alih digunakan untuk menyelamatkan masyarakat pekerja dari keterpapaan, dana tersebut justru digunakan untuk menutupi kerugian korporasi. Karena sedari awal kecendrungan mementingkan keperluan bisnis belum ditepis meski kondisi sudah kritis. Paradigma ini harus dikikis abis di masa pandemi, sebab hukum bisnis bertentangan dengan hukum kemanusiaan. Logika untung-rugi tidak hanya berseberangan, tetapi sangat berlawanan dengan kepedulian terhadap kemanusiaan.

Bergerak dan Bersatu

Kemanusiaan memiliki segalanya untuk mengalahkan pandemi ini. Apalagi, meski korban terpapar banyak yang telah berguguran. Tetapi sebagian penderita Covid-19 telah dapat disembuhkan. Tentu ini menambah angin segar perjuangan melawan pandemi virus Corona. 

Dalam musim pandemi, kerap memunculkan naluri bawaan dari suatu bangsa, ketika dihadapkan pada suatu tantangan luar biasa, kemampuan untuk menemukan solusi bersama tengah diuji. Namun syaratnya masyarakat meski mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Transparansi dan kejujuran pemerintah merupakan faktor kunci, serta jangan mengulangi kesalahan di masa awal penanganan pandemi yakni serba lambat dan itung-itungan. Pemahaman terhadap masalah dan peran masing-masing akan mendorong masyarakat untuk bergerak dan bersatu menabuh genderang perang melawan Covid-19.

Sebagai bangsa yang besar, kita tidak bisa mengalahkan pandemi virus Corona dengan pemerintah buat aturan sendiri, sedangkan masyarakat bermain sendiri. Contohnya selama dua bulan pemerintah telah bekerja, dan di sisi masyarakat dengan tertib telah tetap di rumah saja. Lalu kenapa fluktuasi korban terpapar dan korban terdampak virus Corona seperti dialami masyarakat pekerja makin meningkat. Pasti ada yang salah dengan tetap di rumahnya masyarakat vice versa bersama dengan bekerjanya pemerintah. Karena apabila keduanya, atau salah satunya berfungsi efektif – tidak mungkin  virusnya menyebar massif dengan dampak yang begitu boombastis.

Berbagai pilihan telah diambil pemerintah dalam menanggani wabah Covid-19, termasuk penyelamatan masyarakat pekerja yang terdampak parah dalam kehidupannya akibat virus Corona. Salut, di tengah dunia menjalankan lockdown, pemerintah Indonesia dengan kreatifitasnya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Sebuah ciri khas bangsa Indonesia di hadapan negara sedunia, namun demikian harus diuji di teras publik dengan kualitas hasil yang dapat efektif memberantas Covid-19. 

Isolasi Secara Nasional dan Solidaritas Secara Internasional

Kondisi negara selama musim Corona yang terus memburuk ini memerlukan penyelesaian yang cepat dan menyeluruh. Memberlakukan pembatasan sosial setengah hati akan menghasilkan pemberantasan Covid-19 yang setengah juga, atau menyuruh masyarakat tetap di rumah sedangkan pesawat udara terus mendarat juga tidak berguna dalam mengentaskan virus Corona.

Sampai detik ini kita belum mendapat kabar, kapan Indonesia memasang target untuk mengakhiri Covid-19. Apakah saat Lebaran Idul Fitri, musim haji, atau setahun – dua tahun kedepan. Target ini diperlukan agar tidak tanggung dan ragu dalam menerapkan kebijakan perang melawan virus Corona. 

Untuk segera mengakhiri Covid-19, tidak bisa tidak harus memaksa pemerintah dan masyarakat mengambil sejumlah kebijakan besar secara cepat. Kebijakan besar dalam menghadapi pandemi Covid-19 pertama ialah dengan kebijakan isolasi yang nasionalistik, pembatasan sosial diterapkan dari hulu ke hilir, sabang hingga maraoke. Setiap tingkatan negara sampai pada RT/RW menanggulanginya dengan kontrol yang terpusat dan pengintaian atau melalui solidaritas sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Yang kedua ialah menguatkan kerja sama global dan solidaritas internasional khusus dalam bidang percepatan pengembangan vaksin dan obat Covid-19. Kerja sama diperlukan terkait dengan sumber daya dan pendanaan. Misalnya, Indonesia yang tergabung dalam G-20 bisa memulai kebijakan tersebut dengan mengembangkan prosedur tukar menukar pengetahuan dan menyokong distribusi adil sumber daya kesehatan terhadap setiap negara yang terdampak Covid-19, apalagi beberapa jenis obat Covid-19 sudah banyak diinisiasi dari kalangan pakar dalam negeri, mulai dari terapi plasma darah hingga gula dari Palembang. Hal ini dapat menjadi pintu masuk dalam garapan bersama negara-negara di dunia, dan negara Indonesia dapat menjadi inisiatornya.

Penutup

Dalam konteks kegawatdaruratan akibat pandemi, berbagai kebijakan harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Menyelamatkan nyawa manusia dari serangan mematikan virus Corona sama dengan melindungi keberlanjutan kehidupan manusia atas hak bekerjanya, maka dari itu kita perlu menghentikan Covid-19 ini sekarang juga.

Semoga dengan dua kebijakan seperti disebutkan di atas, dapat mempercepat masa kritis pandemi Covid-19. Dengan semangat kegotongroyongan, kita bahu membahu menghadapi pandemi dengan cara yang di depan kasih teladan, yang di belakang memberikan dukungan. Tegasnya, masyarakat memberi dukungan kepada pemerintah, dan pemerintah memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat. 

Terakhir, dalam momentum may day tahun 2020 yang penuh keprihatinan ini mari bersatu dan saling menguatkan, jangan saling menyalahkan apalagi mau untung sendiri dalam situasi kritis ini. Dan semoga dalam bulan suci ini dapat menebalkan rasa kepedulian antar sesama untuk bersolidaritas bersama mengurangi beban sulit dari dampak virus Corona. Selanjutnya kita serahkan semua kepada yang maha kuasa seraya berdoa agar Allah senantiasa melindungi kita semua. Amin