Oknum Polisi Di Pusaran Kayu Merbau

Setelah melalui prosesi adat, Edyson yang baru keluar dari penjara, kembali mengolah kayu di lahan yang diduga masu wilayah adat marga Kalami Malasili. (Foto:Ist/TN)

Pilu Marga Kalami Malasili Memperjuangkan Hak Atas Ulayatnya (Bagian 3)

“Saya tidak ada sangkut paut dengan mereka (Edyson Cs). Hubungan saya sebatas mobil saya dipakai untuk keperluan turun ke kota atau naik ke lokasi,”

AKSI membabat kayu di hutan adat Marga Kalami Malasili ini, sejatinya pernah memasuki proses hukum yang berujung meringkuknya Edyson Salamala di bui.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong yang diketuai Hanifzar SH.MH, mengganjar Edyson hukuman pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan dan denda uang Rp 500 juta, yang apabila tidak dibayar, diganti kurungan badan selama 3 bulan.

Edyson dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai dan memiliki hasil penebangan kayu di kawasan hutan tanpa izin. Perbuatan ini melanggar Pasal 83 Ayat (1) juncto Undang Undang RI nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Kutipan amar putusan bernomor 110.Pid.Sus/2017/PN Son yang dibacakan pada Senin, 4 September 2017 ini, juga menetapkan 146 batang kayu Merbau dengan berbagai ukuran,  dirampas untuk Negara.

Proses hukum ini berawal dari Laporan Polisi yang disampaikan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamoi, Silas Ongge Kalami S.Sos.SH, ke Polres Sorong 8 Maret 2017. Silas melaporkan Edyson, karena membabat hutan di wilayah hak ulayat marga Kalami, tanpa dilengkapi ijin.

Perbuatan Edyson ini diketahui Silas sejak Senin, 14 September 2015, ketika masih dalam proses pembangunan base camp. Silas diberitahu oleh Kori Kalami dan Sem Paa, saudara iparnya. Esoknya, Silas menyuruh Yosepus Kalami, Petrus Kalami, Yordan Kalami dan Anton Kalami, untuk mengecek kebenaran informasi itu.

Di lokasi yang disebutkan, Yosepus mendapati Edyson bersaudara sedang menebang kayu, dan menegurnya agar aktivitas itu dihentikan. Merasa tak digubris, pada 28 September Silas melaporkan penebangan kayu itu ke Polres Sorong dan Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong.

Pada 29 September 2015, tim dari Dinas Kehutanan turun ke lokasi, menanyakan surat ijin penebangan kayu itu dan meminta Edyson menghentikan aktivitasnya. Perintah ini ternyata juga tak digubris, sehingga pada 1 Oktober 2015, anggota Polsek Makbon yang turun dan mem-police line kayu yang sudah diolah.

Saat itu, polisi juga menyita 3 unit chain saw dari Edyson Cs. Namun tindakan hukum dari polisi ini ternyata hanya bertahan menghentikan kegiatan Edyson selama 1 tahun.  Edyson kembali beraksi membabat hutan, dan menjual kayu olahan yang sebelumnya di police line.

Atas tindakan itu, pada 6 Maret 2017 Silas kembali melapor kembali ke Polres, dan resmi membuat Laporan Polisi (LP) pada 8 Maret 2017. Berdasar LP itu, polisi menangkap dan memproses Edyson secara hukum.

Tetapi tinggal di hotel prodeo selama 1,5 tahun, tidak membuat Edyson jera. Beberapa hari setelah menghirup udara bebas, pada 12 Agustus 2018 Edyson kembali mengancam Obed Kalami, Kepala Kampung Klatomok dengan sebilah parang dan cangkul.

Padahal, ketika Edyson masih berada di bui menjalani hukuman, keluarga besar Salamala sudah membuat surat pernyataan kepada keluarga besar Marga Kalami Malasili. Isinya, keluarga Salamala tidak akan mengganggu keluarga Kalami Malasili yang ada di kampung Klatomok atau di atas tanah adat marga Kalami Malasili.

Pernyataan yang disaksikan Kepala Kampung Asbaken dan Kepala Kampung Klatomok ini, juga terkait dengan pengeroyokan yang dilakukan keluarga Salamala terhadap Yulianus Ulala, pada 31 Desember 2017 di Kampung Asbaken.

Aipda Frengky Baransano (paling kanan), oknum anggota Polsek Sorong Kepulauan, Polres Sorong Kota,, saat berada di base camp pengolahan kayu di Dusun Gilulus, Kampung Klatomok, bersama dengan Edyson (paling kiri). (Foto:Ist/TN)

Selain mengancam Obed Kalami, sepulang dari LP, Edyson Salamala kembali mengolah kayu di Gilulus. Aktivitas itu dipergoki keluarga Kalami. Bahkan, saat di base camp operator yang ada di dalam hutan, juga didapati Frengky Baransano, oknum bintara anggota Polsek Sorong Kepulauan, Polres Sorong Kota.

Aipda Frengky Baransano, saat ini bertugas sebagai Bhabinkamtibmas Kampung Soop, Distrik Sorong Kepulauan Kota Sorong, Papua Barat.

Atas temuan ini, pada 22 November 2018, Silas Ongge Kalami kembali melapor ke Polres Sorong. Selain mengadukan Edyson bersaudara, Silas juga menyeret nama Frengky Baransano, yang diduga terlibat dalam illegal loging itu.

Satu minggu sejak Silas mengadu ke Polres Sorong, seluruh operator yang ada di lokasi itu ditarik keluar. Tidak ada lagi aktivitas penebangan kayu.  Frengky Baransano melaporkan balik Silas ke Polres Sorong Kota, dengan pasal pencemaran nama baik.

“Saya tidak ada sangkut paut dengan mereka (Edyson Cs). Hubungan saya sebatas mobil saya dipakai untuk keperluan turun ke kota atau naik ke lokasi,” kata Frengky kepada Teropongnews, mengklarifikasi tuduhan Silas.

Mobil Toyota Hilux double cabin miliknya, sering dicarter keluarga Edyson yang dia kenal sejak 2018, dengan tarif Rp 1 juta sekali jalan. Karena mobil itu dia bawa sendiri, makanya dia sering terlihat berada di lokasi pengolahan kayu yang dilakukan Edyson.

Meski tahu Edyson mengolah kayu, sebagai aparat penegak hukum, Frengky tidak pernah menanyakan apakah aktivitas yang mereka lakukan itu berijin, atau illegal.

“Saya tidak ada sampai kesitu, menanyakan apakah ada surat-surat resminya. Karena posisi saya sebatas pemilik kendaraan yang mereka gunakan. Jadi sama sekali tidak ada hubungan kerja terkait kayu, Makanya ketika saya dilaporkan ke polisi, saya diarahkan Kasi Propam untuk melaporkan balik,” urai Frengky. ** bersambung…

Baca juga: https://teropongnews.com/berita/ijin-pembalakkan-hutan-yang-menjadi-misteri/